Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Money

Relung Gelap Globalisasi

19 Januari 2010   17:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Relung Gelap Globalisasi

Ketika beberapa rekan didik (saya tidak menyebutnya sebagai anak didik karena terkesan feodal banget) saya bertanya tentang apa dan mengapa kita begitu ‘dekat’ dengan istilah ‘globalisasi’? Saya sedikit kesulitan menemukan titik awalan untuk memulai sebuah penjelasan. Maklum, saya sedang berhadapan dengan ABG-ABG usia belasan tahun (yang dalam penafsiran saya) memiliki keterbatasan kosakata dan perbendaharaan wacana. Namun, yang membahagiakan saya adalah keinginan mereka untuk membuat sebuah pertanyaan tentang globalisasi. Meski pertanyaan mereka indak (meminjam kosakata Uda Faizal dalam komedi situasi ‘Suami-Suami Takut Istri’) setajam siswa-siswa di sekolah berstandar nasional maupun internasional, saya berbangga hati karena mereka juga terdorong untuk mengetahui dan memahami sesuatu yang umum dipahami. Ironis memang, bukankah dorongan untuk memiliki sesuatu yang umum dalam konteks publik adalah produk globalisasi itu sendiri. Akhirnya, saya mulai dari memaparkan apa dan mengapa kita begitu ‘dekat’ dengan istilah ‘globalisasi’ berpijak pada landasan prakiraan imajinasi rekan didik sebagai subjek belajar.

Jika kita mendengar istilah ‘globalisasi’, yang terbayang-bayang dalam ruang imaji kita (mungkin) adalah sebuah sistem yang mengatur ekonomi dunia tanpa mengenal batas-batas negara (bordeless world). Penghilangan perbatasan negara ini memungkinkan adanya pertukaran modal (investasi), tenaga kerja, maupun komoditas-komoditas berupa barang dan jasa antar negara secara bebas dengan tarif 0 %. Bea masuk dan bea keluar dicoret dari anggaran sebuah kegiatan produksi. Dampaknya, negara dengan sendirinya akan kehilangan pemasukan pajak dari pos bea masuk dan bea keluar modal, tenaga kerja, dan barang atau jasa itu sendiri. Inilah bagian esensial dari globalisasi. Sistem ini benar-benar memberikan kekuasaan pada mekanisme pasar untuk mengelola kegiatan ekonomi tanpa sentuhan negara secara langsung. Proteksi maupun bentuk-bentuk campur tangan negara dalam berbagai sektor-sektor ekonomi akan dikurangi, bahkan dihilangkan. Madeley dan Solagral (2001) memberikan pengertian mengenai globalisasi -khususnya liberalisasi perdagangan- ini, yaitu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang.

Melihat fenomena sistem ekonomi di atas, kita akan menemukan sebuah contoh konkret dengan sistem ekonomi yang diterapkan di negara-negara Barat, yaitu sistem ekonomi liberalisme. Ekonomi liberalisme yaitu sistem ekonomi yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu untuk berusaha dan sekaligus meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Paham ekonomi liberal ini meyakini bahwa kemakmuran negara akan terwujud bila masing-masing individu dalam negara tersebut juga dalam kondisi ‘makmur’. Dengan memberikan kebebasan berusaha yang seluas-luasnya kepada warga negaranya, niscaya kemakmuran akan betah bertamu di rumah warga negara. Persaingan yang terjadi di dalam pasar ekonomi liberal adalah persaingan usaha yang keras. Permodalan yang kuat cenderung akan menunjukkan kekuasaannya dan meminggirkan usaha dengan kapasitas permodalan yang ceking. Negara diharamkan memberikan kebijakan yang bersifat proteksi maupun pembinaan terhadap pengusaha kecil.

Dari keterkaitan itu dapat memahami latar belakang perjuangan negara-negara Barat untuk menggulirkan ide globalisasi. Karena apa? Globalisasi secara ekonomi sangat menguntungkan mereka. Investasi mereka tidak akan terhambat oleh tarif dan non-tarif ekspor impor komoditas perdagangan. Dan ini terbukti sangat efisien. Namun, nasib buruk menghampiri negara-negara berkembang. Masuknya investasi dan barang-barang produksi negara maju, pada tingkatan tertentu akan menyaingi dan bahkan mematikan produksi barang-barang dari negara berkembang, yang notabene masih diproduksi secara tradisional dengan manajemen yang sederhana. Ini adalah salah satu dampak nyata dari globalisasi/liberalisasi ekonomi. Anehnya, dalam perkembanganya, semua negara (termasuk negara berkembang) beramai-ramai meng-amin-i ide globalisasi ini.

Tetapi, negara-negara berkembang patut bersyukur dan tidak perlu berkecil hati, bagaimanapun juga globalisasi bagai pedang bermata dua. Globalisasi tidak hanya menjadi pocong bagi negara-negara berkembang, namun Globalisasi juga mampu membuat negara-negara maju ketakutan sedemikian rupa. Negara maju menginginkan teknologi dan barang-barang produksinya tidak terhambat untuk menyentuh dan mengobrak-abrik pasar-pasar negara berkembang, tetapi sekaligus berjuang keras menghambat masuknya produk-produk dari hasil industri padat karya negara berkembang yang ‘terlalu murah’ agar tidak bebas beredar di pasar-pasar negara maju. Inilah fenomena kebiadaban negara-negara maju, pengingkaran dari konsep perdagangan yang diusungnya sendiri melalui kebijakan-kebijakan tidak langsung dapat menghambat peredaran produk maupun tenaga kerja dari negara-negara berkembang. Ketika perusahaan gadget seluler Nokia memaksakan wilayah Asia menjadi pasar terbesarnya, ia harus menjadikan Indonesia sebagai negara pertama tempat launching beberapa produk gadgetnya. Ia juga harus mengelola media sedemikian rupa sebagai sarana promosi dan konstruksi wacana. Sebaliknya, negara-negara di Barat ternyata berjuang keras menahan masuknya rokok Indonesia ke pasar dalam negeri mereka. Padahal, bertahun-tahun, rokok Indonesia telah beredar luas di kawasan Asia tetapi mereka sangat sulit menembus dinding pasar negara-negara Barat. Walaupun dari sisi kualitas, produk tersebut tidak kalah dengan komoditas negara maju.

Strategi yang sedikit amoral namun memberikan dampak positif bagi negara-negara maju adalah usaha mempengaruhi industri-industri negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang. Pengaruh tersebut di antaranya adalah kebijakan tentang kondisi buruh, upah buruh, perlindungan terhadap lingkungan hidup, maupun pencantuman label ‘Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin’ yang secara nyata berusaha menyerang industri rokok di Indonesia. Implementasi dari pengaruh itu dalam dunia buruh adalah dengan “merekomendasikan” adanya tingkat Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia. Dengan begitu, perindustrian negara berkembang dapat dikontrol. Dari sini dapat dipahami adanya konspirasi negara-negara maju dengan kelembagaan internasional. Konspirasi inilah yang kemudian menelurkan kebijakan-kebijakan mambu-mambu pemaksaan kepentingan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu alat paling “mujarab” untuk bisa memaksakan kehendak kepada negara berkembang adalah melalui kebijakan pemberian pinjaman dari International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), Consultative Group of Indonesia (CGI), maupun World Bank. Penjabaran relasi kausalitas di atas menjadi dasar perenungan untuk mengumandangkan suara baritone Lagu Indonesia Raya yang diakhiri dengan sebuah yel-yel, “Tolak Utang Luar Negeri”.

Kekejaman negara-negara maju dengan menciptakan hambatan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memasarkan produk-produknya di pasar internasional tidak hanya berhenti sampai disini. Berbagai macam standardisasi diperkenalkan oleh negara maju. ISO, misalnya. Artinya, komoditas perdagangan produk negara berkembang yang ingin masuk pasar-pasar negara maju harus memenuhi aturan-aturan standardisasi mereka yang telah ditetapkan. Itu semua dilakukan negara maju untuk memproteksi negara maju agar produk-produk negara berkembang tidak dengan mudahnya menyaingi produk-produk negara maju. Di bidang pendidikan, untuk menekan masuk dan bersaingnya tenaga kerja dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju, standarisasi pun diberlakukan. Sekolah berstandar internasional, dengan guru pengajar yang berToefl-Toefl ria, plus passing grade kelulusan yang tidak jelas latar-belakangnya namun dipaksakan merupakan bentuk sentuhan untuk menghambat progresivitas tenaga kerja profesional Indonesia sehingga lemah jika bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara maju. Fenomena USAID maupun AUSAID adalah kenyataan bahwa kekejaman negara maju dengan standarisasi model mindset mereka telah jauh menusuk dunia pendidikan bangsa Indonesia.

Kekejaman konspirasi yang lain, misalnya dapat dilihat dalam kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai berikut :

Pertama, Amerika Serikat memberikan penalti dalam bentuk diskon harga secara otomatis untuk produk asal Indonesia seperti kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan anti biotik. Disisi lain, Amerika Serikat memaksakan produk CLQ (Chiken Leg Quarter)nya diterima oleh Indonesia padahal kehalalannya masih disangsikan. Herannya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengeluarkan fatwa untuk melindungi muslim Indonesia dari CLQ produk Amerika Serikat tersebut. Melainkan mengeluarkan fatwa haram rokok yang dapat memperlemah pasar dan produktivitas perusahaan rokok. Mungkinkah konspirasi tersebut juga menjangkiti lembaga keagamaan non bisnis?

Kedua, Jepang menolak buah-buahan Indonesia dengan alasan terkontaminasi lalat buah. Selain itu, Jepang juga menolak masuknya pucuk tebu dengan alasan penyakit mulut dan kuku (PMK). Padahal, Jepang melalui CGI telah mendapatkan fasilitas menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar industri otomotifnya. Dengan tambahan fasilitas pemotongan pajak bea masuk dan penekanan perkembangan otomotif nasional. India punya Bajaj, Malaysia punya Proton, tapi mengapa Indonesia baru punya Timor dan Bimantara saja kok sarat dengan KKN.

Ketiga, beberapa komoditas hortikultura dari Indonesia seperti pisang, pepaya dan jeruk mengalami pelarangan masuk ke pasar Taiwan dengan alasan ditemukan lalat buah yang tenyata tidak terdapat di Indonesia. (Deptan, 2001). Mengapa kita tidak segera melakukan aksi revenge dengan melakukan pengurangan konsumsi produk-produk luar negeri dan menekan investasi asing dalam perusahaan-perusahaan di Indonesia?

Selain materi kesepakatan SPS yang melemahkan Indonesia, perang isu virus juga mewarnai usaha negara-negara maju untuk menyerang dan melemahkan dunia usaha negara-negara berkembang. Disinyalir, virus flu burung adalah virus yang disebarluaskan Amerika untuk melindungi pabrikan pakan ternaknya di wilayah Asia yang cenderung terpinggirkan oleh pabrikan pakan ternak Korea dan China (Sindo, 15 Desember 2007). Meski yang menjadi fokus serangannya adalah pabrikan pakan ternak namun industri peternakan unggas Indonesia juga di’goyang’ oleh penyebaran virus tersebut. Pemerintah bahkan hingga detik ini masih hobby menayangkan iklan layanan masyarakat ‘Tanggap Flu Burung’ di media massa, padahal sudah tidak terhitung lagi jumlah pengusaha ayam potong dan petelur di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang terpaksa gulung tikar karena isu virus tersebut.

Belajar pada fenomena ketidakadilan perdagangan yang terjadi, salah satu hal yang urgen untuk dilakukan adalah memperkuat kerjasama antar negara berkembang untuk secara bersama-sama berjuang untuk kepentingan rakyat negara berkembang dalam forum negosiasi dagang World Trade Organization (WTO). Bagaimanapun juga globalisasi atau liberalisasi perdagangan punya aturan main dan kebijakan-kebijakan yang mengikat bersama. Pemerintah Indonesia dituntut untuk memperjuangkan kepentingan negara dalam forum negosiasi aturan main dan kebijakan-kebijakan tersebut. Bukan hanya me-makmum-i setiap poin yang negara-negara maju putuskan.

Masyarakat kita memang telah terlalu banyak mengadopsi teori-teori ekonomi negara barat. Generasi muda kita, di berbagai jenjang pendidikan, kenyang dengan materi-materi teori ekonomi yang berkiblat pada teori-teori neoklasik barat. Kita lebih mengenal teori ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo ketimbang teori ekonominya Karl Mark. Mengapa juga kita tidak belajar dari India? Swadeshi Gandhi mengajarkan agar kita mencukupi kebutuhan kita sendiri. Jika diterjemahkan secara luas, konsep mencintai dan menggunakan produk-produk dalam negeri akan memberikan kekuatan bagi dunia usaha domestik sehingga memicu kebutuhan akan tenaga kerja. Konsep ini juga harus menyentuh pada pengurangan progresivitas permodalan asing yang telanjur menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Blunder-blunder seperti privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan membuka pintu seluas-luasnya pada investor asing hendaknya menjadi sebuah langkah terakhir dan tidak akan terulang kembali. Alangkah makmurnya Indonesia, jikalau sumber daya alam dan kuantitas-kualitas sumber daya manusia yang ada mengajukan pensiun sebagai objek pasar, dan segera mendaftarkan diri menjadi subjek pasar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun