Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pacaran di Bulan Ramadhan

15 Agustus 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:45 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ramadhan, tidak selalu identik dengan kegiatan ‘ra madhang’(sebuah frasa bahasa Jawa mataraman yang berarti ‘tidak makan’). Bulan Ramadhan adalah bulan suci bagi kaum Islam tidak hanya mewajibkan untuk mengendalikan nafsu makan dan minum, melainkan mengendalikan nafsu yang dimiliki manusia secara menyeluruh. Bulan suci Ramadhan juga merupakan bulan yang penuh barokah dan pengampunan-Nya, barang siapa yang menggenjot aktifitas beribadahnya dan memohon ampunan-Nya dengan segenap ketulus-ikhlasan niscaya Allah SWT akan menghapuskan dosa-dosanya.

Akan tetapi, sejauh mata memandang, datangnya bulan suci Ramadhan acapkali hanya disambut dengan kesemarakan aksesoris yang bersifat pragmatis dan nir pemahaman esensi dari Ramadhan itu sendiri, sebagai momentum istimewa untuk memperbanyak amal ibadah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Di layar kaca, momentum datangnya bulan Ramadhan disambut dengan sederet tayangan acara yang beraura (kasih) Ramadhan. Mulai dari genre tayangan acara sinetron hingga acara komedi, acara musik, talk show, infotaintment, maupun reality show. Ada Cinta Fitri Season Ramadhan, Opera Van Java Sahur, de el el, de el el.

Belum lagi membanjirnya new release album dan single lagu bertemakan religi. Artis dan selebritis yang sebelumnya dikenal publik dengan gossip-gossip kedekatannya dengan artis X ataupun selebritis Y, kehancuran rumah tangganya, atau perselingkuhannya, mendadak tampil dengan busana religi dan mendendangkan lagu-lagu Islami.

Parahnya lagi, bisnis garmen membaca fenomena ini dengan jeli sebagai peluang untuk meningkatkan angka penjualan. Akibatnya, pasar pun disarat-padati dengan jilbab ala Manohara, Isabella, Inayah, bahkan baju koko model Pasha Ungu dan Ustadz Jeffrie.

Sedangkan di lingkungan sekitar rumah kita, jelang buka puasa, bermunculan pasar kaget yang dijejali dengan pedagang dengan sederet komoditas berupa aneka ragam penganan dan minuman yang menggoda selera.

Bagi generasi muda kita yang sedang memasuki masa pubertas, momentum datangnya bulan suci Ramadhan tidak menyurutkan semangat mereka untuk melakukan shooting film “Yang Muda Yang Bercinta”. Meskipun mereka juga sedang berpuasa, sederet pasangan muda-mudi masih nampak bertebaran di sudut-sudut keramaian kota. Bahkan hasil razia tempat-tempat mesum yang digelar satpol PP menunjukkan bahwa masih banyak pasangan muda yang meminggirkan momentum bulan suci Ramadhan dengan mempergiat aksi acara pacaran mereka hingga melewati batas norma agama.

Menyoal tentang pacaran, dalam millennium ketiga ini sebenarnya istilah pacaran bukan hanya menjadi entitas generasi muda. Pacaran telah menjadi institusi sosial-kemasyarakatan yang dianggap sebagai fenomena yang wajar. Memang patut sedikit disayangkan, ketika masyarakat umum cenderung cuek menyaksikan proses melembaganya budaya pacaran tersebut.

Penulis menilai bahwa masyarakat, terutama orang tua, justru terkesan lebih menerima pacaran daripada pernikahan. Padahal, kita semua yang pernah muda ini bisa menilai bahwa pacaran memiliki karakter yang sangat ‘tagrabuzzina’ (mendekati zina). Mengingat keluasan makna zina itu sendiri yang menyentuh indera penglihatan, perasa, peraba, dan pencecap maka telah menjadi rahasia umum bahwa pacaran sangat identik dengan kegiatan yang mendekati zina.

Benarkah masyarakat, terutama orang tua, lebih menerima pacaran daripada pernikahan?

Dari pengamatan dan pengalaman pribadi penulis sendiri, masyarakat (baca: orang tua) justru pasang kuda-kuda ketika ada seorang lelaki beritikad baik yang bersedia berkunjung dan melamar anak gadisnya. Orang tua maupun lingkungan keluarga akan membombardirnya dengan selaksa pertanyaan tentang pekerjaan, besaran gaji, tingkat pendidikan, agama, etnik, sejarah, silsilah keluarga, dan sebagainya. Tanggapan yang berbeda akan diberikan ketika ada seorang lelaki yang berkunjung dan mengajak nge-date anak gadisnya. Dengan dalih demokratisasi atau memberi kebebasan kepada sang anak, orang tua maupun keluarga cenderung terbuka dengan bentuk-bentuk budaya pacaran.

Padahal kita semua memahami bahwa hal itu sangat berbahaya bagi kelangsungan kehormatan anak gadisnya, bahkan keluarga itu sendiri. Apa jadinya jika kedekatan budaya pacaran dengan perzinaan benar-benar bermuara pada kehamilan di luar nikah?

Istilah pacaran mulai dikenal publik secara luas sejak tahun 70-an. Istilah ini muncul sebagai ungkapan tentang lelaki dan perempuan muda yang mencintai satu sama lain. Cinta yang ada di antara mereka mendorong untuk saling menjajagi dan memahami, tujuannya sebagai amunisi pertimbangan menuju jenjang yang lebih tinggi yakni mahligai pernikahan. Dengan kata lain, insan muda-mudi yang terjebak dalam lingkaran budaya pacara pada dasarnya merupakan pihak-pihak yang memiliki minat dan motif memasuki jenjang pernikahan. Dalam perspektif Islam, penjajagan ini adalah rintisan adicara guna membangun mahligai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan wa rohmah.

Islam sendiri pada hakekatnya memang memperbolehkan aksi acara pendekatan, penjajagan, pengenalan dan pendalaman kepada insan lawan jenis yang bukan mukhrim. Proses ini dikenal sebagai ta'arruf (mengenal), baik secara psikologis, kedalaman beragama, fisik seperti kecantikan maupu ketampanan, pekerjaan, ekonomi, genetika, dan lain sebagainya. Dalam memilih pasangan hidup, budaya Jawa telah memberikan rambu-rambu berupa bibit (genetika), bebed (psikologi, keagamaan), dan bobot (fisik, ekonomi). Sederet materi pertimbangan dalam memilih pasangan hidup ini dapat diketahui melalui proses ta’aruf yang diatur dalam kaidah interaksi lawan jenis yang sejalan dengan syariat Islam.

Namun, hari ini ta’aruf yang pada hakekatnya merupakan proses penjajagan berkembang secara banal menjadi budaya pacaran dan memarjinalkan kaidah interaksi lawan jenis menurut syariat Islam. Interaksi lawan jenis ini tidak lagi dilandasi oleh motivasi memilih pasangan hidup yang islami melainkan lebih didorong oleh nafsu badaniah dengan berkhalwat-khalwat ria yang memberi tempat kepada setan.

Dalam pengamatan penulis, budaya pacaran dewasa ini sangat didominasi oleh pengaruh setan, iblis, emosi dan nafsu badaniah, meskipun tidak semuanya. Media massa, baik cetak maupun elektronik telah berperan besar dalam mengembangkan budaya pacaran yang jauh meninggalkan entitas ta’aruf. Bayak insan yang tengah terjebak dalam lingkaran budaya pacaran yang mengimani kaidah ‘teliti sebelum membeli’ Durian. Layaknya membeli buah Durian, banyak pasangan yang ingin mencoba dulu mencicipi sebelum memasuki jenjang pernikahan. Media massa menampilkan budaya pacaran ala beli Durian ini sebagai sebuah kewajaran. Novel, cerpen, sinetron, film, maupun bentuk-bentuk tayangan reality show menampilkan kewajaran budaya pacaran yang melanggar norma kesusilaan, bahkan agama.

Raihan best seller novel Saman (Ayu Utami), maupun Supernova (Dee) yang bergenre sastra biru menjadi penanda bahwa hubungan lawan jenis yang berkedok cinta dengan bumbu interaksi seksual merupakan suatu hal yang wajar. fenomena ini kian diperkuat dengan tema, konflik, maupun adegan-adegan sinetron maupun film remaja yang mengarah pada kemesuman.

Padahal Islam sendiri sejak dini telah mengantisipasi perkembangan budaya pacaran model asusila seperti ini. Agama Islam, sebagai tindakan preventif, telah melarang mendekati hal-hal yang beraura zina dengan turunnya firman Allah SWT; “wala tagrabuzzina” (Q.S. Al-Isra.:32), dan perintah bagi laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangannya dan memelihara kehormatannya atau kemaluannya (Q.S. An-Nur:30-31).

Agama Islam juga mengajarkan bagi perempuan untuk memelihara dan menutupi perhiasannya. Perintah-Nya bagi perempuan untuk mengenakan kerudung atau jilbab hingga ke sekwilda (sekitar wilayah dada) dan melarang buka paha tinggi-tinggi (bupati) merupakan perintah-Nya yang diimaksudkan agar lekuk liku tubuh perempuan tidak sampai menjadi konsumsi publik (terutama lawan jenis). Sebagai laki-laki, penulis menyadari bahwa hal itu dapat memancing rangsangan seks lelaki, terutama lelaki yang memang memiliki ‘kelainan’ dalam hatinya.

Seakan menjadi sebuah peristiwa yang wajar apabila perilaku lawan jenis dalam budaya pacaran berputar-putar pada agenda pandang-memandang, pegang-pegang, raba-meraba, berkhalwat-khalwat ria, berpelukan ala Teletubbies, berciuman, bertindihan dan seterusnya. Bahkan ada semacam joke di kalangan generasi muda jikalau pacaran di antara rekan mereka tidak sampai terjadi kontak fisik yang syurr maka akan diolok-olok dengan kata-kata “Koncoan lak wis…” (berteman sajalah). Hal ini menandakan bahwa dalam perspektif mereka kewajaran dalam budaya pacaran adalah adanya kontak fisik.

Lalu bagaimana jikalau benar-benar terjadi hal-hal yang benar-benar mereka inginkan tersebut?

Berpijak pada pengamatan dan pengalaman penulis, biasanya ada lima hal yang akan terjadi apabila dua insan yang sedang dimabuk asmara tersebut. Pertama, terpaksa dinikahkan sebagai cara penyelesaiannya. Kedua, si gadis sebagai pihak yang dikorbankan akan menuntut di meja hijau. Ketiga, kalau kedua hal di atas tidak tercapai, pihak wanita akan didera tekanan batin, yang salah satunya dapat terjadi bunuh diri atau terlibat amoralitas yang lebih parah. Keempat, pihak perempuan mengambil tindakan pintas dengan cara menghabisi pihak lelaki karena dianggap syiri berdasarkan kehormatan dalam keluarganya. Kelima, menggunakan dukun sebagai pihak ketiga untuk menghukum pihak laki-laki yang dianggap tidak mengerti agama, hukum dan adat istiadat.

Satu fenomena yang lazim terjadi adalah tidak semua orang yang berpacaran berhasil sampai ke jenjang pernikahan. Banyak yang terputus di tengah jalan, entah karena berselingkuh, tidak adanya kecocokan, mencari ganti orang lain, atau mungkin pihak orang tua salah satunya tidak setuju, bisa juga karena sudah dijodohkan,. Padahal, di antara mereka telah terjadi hal-hal syurr yang benar-benar mereka inginkan. Maka, agama Islam sudah mewanti-wanti semua itu agar kita menjaga harkat dan martabat manusia sebagai makhluk termulia dan tersempurna, tentu sebagai khalifah (pemakmur), bukan as fala safilin (sehina-hina dan serendah-rendah ciptaan-Nya).

Agama Islam telah memberikan petunjuk proses bercintaan, sekali lagi bukan berpacaran, seperti disinggung di atas, agar manusia terjaga dan terhindar dari dampak dan kerugian yang sewaktu-waktu menimpanya tanpa disadari. Kalau sekadar memandang saja sudah ada larangan, apalagi melakukannya.

Dengan mengacu prinsip itu, maka pacaran model sekarang bisa dikatakan sebagai bentuk budaya non-religius, amoralitas dan sangat rentan perzinahan, baik tersembunyi maupun terang-terangan dengan selimut modernisasi dan hak asasi. Karena itu, walaupun istilah pacaran kini lagi ngetrend di kalangan muda-mudi dengan segala nikmat dan resikonya, dengan dalih menikmati masa muda, tetapi kiranya masih lebih baik dan indah jika kultur berpacaran selalu diwaspadai.

Dalam momentum datangnya bulan Ramadhan ini, sudah selayaknya kita semua melakukan refleksi dan menimbang-nimbang kembali budaya pacaran yang sedang kita lakukan atau ada di sekitar kita. Sehingga kita dapat mengukur keafdhalan ibadah puasa maupun ta’aruf lawan jenis yang kita lakukan.

************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun