Mohon tunggu...
Anjo Hadi
Anjo Hadi Mohon Tunggu... profesional -

"Politikus itu banyak. Tapi Negarawan itu sedikit."\r\n\r\nOnce worked as a journalist for OZIndo (Indonesian-speaking magazine in Australia) and Indomedia Australia.\r\n\r\nFollow me: https://twitter.com/AnjoHadi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Protokol Penistaan Agama atau Protokol Penistaan Agama Islam?

1 Oktober 2012   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349097018915956509

[caption id="attachment_209170" align="alignnone" width="620" caption="Sumber: AFP PHOTO/ TIMOTHY A. CLARY"][/caption]

Ketika protokol ini diajukan SBY, didepan Majelis Umum PBB, kita tahu bahwa kasus pelecehan film nabiInnocence of Muslim” tidak main-main. Umat Islam benar-benar terluka dan seluruh dunia melihat luka tersebut dengan jelas, bahkan sampai mengorbankan nyawa orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan pembuatan film tersebut seperti salah satunya Dubes AS sendiri di Libya.

Namun ada yang menggelitik. Mengapa harus namanya Protokol Penistaan Agama? Mengapa bukan Protokol Penistaan Agama Islam saja langsung? Mengapa tiba-tiba saya mikir sejauh ini? Bukankah gagasan dari rekan-rekan Muslim ini juga seharusnya membantu agama-agama lain untuk lebih dihormati dan tidak dimain-mainkan?

Ini mungkin tidak terpikir oleh kita. Bagi beberapa orang beragama, aturan dan larangan itu mengukuhkan harga diri dan rasa hormat orang lain (entah non-Muslim atau Muslim sendiri) terhadap atribut atau simbol suci agama (dalam konteks kasus film ini kita sebut saja Islam) Namun bagi agama lain, respect terhadap atribut dan simbol agamanya tidak didapat dengan regulasi dan malahan justru nilai-nilai keagamaannya hilang lewat regulasi yang ada.

Contohnya Gus Dur, Beliau pernah bilang bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Artinya semakin kita menujukkan usaha untuk melindungi kemuliaan dan kesucian Tuhan, maka semakin besar kenistaan kita meremehkan kuasa Tuhan tersebut. Disaat yang sama dengan keluarnya film penistaan itu, muncul sebuah kabar (yang seharusnya menggemparkan) umat Kristiani mengenai kabar bahwa Isa (Yesus) beristri. Dalam terminologi akidahnya orang Nasrani, kepercayaan ini seharusnya meresahkan karena Yesus sebagai Tuhan tidak menikah dengan manusia. Namun dalam suatu obrolan santai mengenai topik ini, teman Nasrani saya berkata,

“Itu urusan dia sama Tuhan...bukan sama gue.”

Pay attention bahwa teman saya itu bukanlah robot yang tidak bisa merasakan sakit hati dan emosi ketika agamanya dinista. Tapi berhubung manual book-nya mengajarkan untuk membedakan tanggungjawab manusia dan tanggungjawab Tuhan. Dalam ajarannya, bila keilahan Tuhan dinista, maka itu adalah hak Tuhan untuk tetap memberkati atau meng-azab orang tersebut. Berbeda sekali bukan dengan paham beberapa orang yang berpikir bahwa adalah tanggung jawab manusia juga untuk menjaga kesucian nama Tuhan. Lantas dengan perbedaan seperti ini, bagaimana bisa protokol ini dirumuskan bila agama diluar Islam (yang pro protokol) justru merasa agamanya ternista bila protokol tersebut lolos?

Sejak awal, pembuatan protokol ini mengenai ketidakpuasan agama tertentu terhadap penistaan simbol dan atribut yang mereka imani suci. Ini adalah perang mereka. Meminta simpati dan dukungan penganut agama lain sah-sah saja, tapi untuk apa mengajak umat beragama lain memiliki regulasi yang sama seolah agamanya juga butuh hukum proteksi usaha manusia?

Protokol = Solusi?

Selama orang kaya ada...orang miskin selalu ada. Selama orang pintar ada...orang bodoh selalu ada. Selama institusi agama ada, penistaan agama akan selalu ada. Sekarang kita hidup di jaman internet. Informasi apa saja mudah didapat. Mau situs yang berisi kejelekan dan ejekan agama A atau B, semuanya ada tergantung pilihan.

Lalu kembali untuk apa tujuan utamanya dibuat protokol ini? Lalu seberapa efektif protokol ini menghentikan orang untuk menghina agama tertentu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun