Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Gratifikasi (yang Dilarang) Susah Diberantas di Negeri Ini?

6 Februari 2018   14:18 Diperbarui: 7 Februari 2018   12:48 4846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gratifikasi (terlarang) (Sumber: http://poskotanews.com)

Apa saja yang kita terima dalam kapasitas sebagai orang awam, dinamakan hadiah. Disebut gratifikasi, bila penerimanya merupakan seorang pejabat atau pegawai negeri. Telah banyak kasus gratifikasi yang melibatkan pejabat mengisi pemberitaan di media massa. Selain menyangkut jabatan yang diemban, nilainya yang fantastis membuat kita terperanga. 

Sebut saja, Rita Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara, yang disangka menerima gratifikasi total sebesar 436 miliar rupiah dari fee perizinan dan pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (Kompas/16/01/2018).

Sebenarnya, tindak pidana gratifikasi tidak eksklusif dilakukan oleh pejabat. Di level bawah pun, tak bisa ditampik bahwa di banyak tempat praktik memberi "uang rokok" masih lazim dilakukan masyarakat kepada petugas pelayanan. Gratifikasi seolah telah menjadi cara yang dibenarkan oleh semua kalangan untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas pelayanan yang diberikan.

Apakah fenomena tersebut terjadi karena mereka tak paham atau tak mau paham? Untuk menjawabnya, tak bisa kita membuat dikotomi 'hitam dan putih' segampang itu. Karena, awalnya praktik saling memberi dan menerima sebagai ekspresi keramah-tamahan merupakan bagian tak terpisahkan dari kultur ke-Timuran kita. 

Sesuai dengan pasal 12B Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi sebenarnya bermakna netral, tidak melulu terkait pelanggaran pidana. KPK sendiri mengeluarkan 'negative list', atau jenis gratifikasi yang tidak wajib lapor atau boleh diterima dalam kerangka batasan nilai dan frekuensi pemberian yang wajar.

Namun kadung dipahami oleh masyarakat kita bila semua penerimaan gratifikasi adalah melawan hukum. Padahal gratifikasi yang dilarang menurut undang-undang adalah gratifikasi yang diberikan karena menyangkut jabatan seseorang, dan berseberangan dengan tugas serta kewajibannya sebagai pegawai negeri/penyelenggara negara, sehingga berpotensi  menimbulkan konflik kepentingan.

Kemauan memilah dan memilih antara gratifikasi yang boleh dengan yang dilarang inilah menjadi persoalan tersendiri. Memang, yang perlu dipersoalkan di sini adalah gratifikasi yang dilarang. Gratifikasi ini merusak mental pejabat atau pegawai negeri. Mereka akan menjadi pengemis bagi masyarakat. Tidak memberi layanan, kalau tidak diberi sesuatu atau embel-embel di luar gaji resmi yang diterimanya tiap bulan. Mentalitas ada uang, ada layanan ini telah mengakar kuat di dunia birokrasi, karena beberapa hal berikut:

Pertama, dilihat dari sisi Pemberi, gratifikasi (yang dilarang) merupakan tanda ikhlas yang diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat setelah mendapatkan layanan. Berbeda dengan suap, tidak ada tendensi menyogok. Apalagi, gratifikasi tersebut diberikan setelah mendapatkan layanan. Inilah sesat pikir yang kebanyakan dialami oleh Pemberi. 

Dalam anggapan mereka, memberikan sesuatu setelah selesai urusan itu wajar-wajar saja karena tidak mempengaruhi apa pun. Akan tetapi yang tak disadari adalah mentalitas menerima akan berlanjut pada upaya meminta dengan paksa bila tidak diberi sesuatu.

Kedua, pandangan bahwasanya gratifikasi yang diberikan dilandasi rasa ikhlas juga menjangkiti Penerima. Mereka tidak meminta atau bahkan memaksa. Mempersoalkan apakah uang itu halal atau haram saja tidak karena dianggap bentuk rejeki yang datang dari mana saja karena telah baik melayani. Fakta bahwa gratifikasi itu diberikan di akhir sebagai tanda terima kasih juga menguatkan pandangan tersebut.

Ketiga, mengenai sistem di tempat kerja. Meskipun semangat pemberantasan korupsi bergema lebih kuat saat ini, nyatanya hal tersebut tidak merasuk ke relung sanubari semua pegawai negeri atau pejabat negara. Seolah gaung anti korupsi tidak pernah menjangkau ruang-ruang gelap di mana korupsi sering terjadi. Banyak pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahkan sistem sehingga korupsi menjadi praktik keseharian yang diterima. Mereka tak mau mengubah sistem yang korup itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun