Mohon tunggu...
Anita Rakhmi Shintasari
Anita Rakhmi Shintasari Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menebar manfaat

Sebagai seorang guru, membaca dan menulis menjadi aktivitas yang wajib dan menyenangkan tentunya. Bergabung di blog menjadi wahana untuk berlatih dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Kisah Perjalanan Kita (6)

6 April 2022   11:18 Diperbarui: 6 April 2022   11:22 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesedihan yang kurasakan karena sikapmu mungkin sedikit berlebihan. Disini aku baru menyadari bahwa ada bagian dari diriku yang rapuh. Jika selama ini aku selalu merasa kuat dan tangguh, pada kenyataannya ketika harus menghadapi rasa yang tak berbalas yang ada hatiku remuk redam. Aku mudah sekali merasa sedih dan menangis meski dirimu salah ucap atau tidak melakukan yang kuinginkan. Aku lebih posesif dan semakin egois. Aku merasa hanya diriku yang hancur karena hubungan kita.

Dirimu hampir tak pernah membela diri ketika melihat aku marah ataupun sedih. Aku tak pernah bertanya bahkan seperti apa perasaanmu melihat tingkahku seperti itu. Aku lebih mementingkan perasaanku, daripada memperhatikan kehamilanku. Ketika periksa di puskesmas untuk yang kesekian kalinya, dan berat badanku tidak naik, aku kena tegur bidan yang memeriksaku. "Ibu, seharusnya ibu makan teratur dan istirahat yang cukup. Asupan gizi juga diperhatikan, supaya anak yang dikandungan sehat, apa ibu mau anaknya cacat?', tegur bidan sedikit ketus. "iya, bu", jawabku datar. Saat itu aku terhenyak, seakan baru sadar dari tidur panjang. Ada nyawa yang harus aku jaga dan perhatikan.

Sejak kejadian itu aku mulai aktif mencari informasi tentang kehamilan. Apa saja yang mestinya dilakukan oleh ibu hamil. Jenis makanan yang sehat dan cara mengonsumsinya. Waktu itu aku mengandalkan radio, karena internet belum sepopuler sekarang. Aku rajin mendengarkan radio yang menyiarkan informasi seputar kesehatan. Aku juga memintamu untuk membelikan buku-buku bacaan tentang kehamilan, termasuk bagaimana melakukan senam bagi ibu hamil. Aku tidak ingin anakku sakit apalagi cacat, dia harus tumbuh menjadi anak yang sehat, itu tekadku. Aku juga melibatkan dirimu secara aktif untuk mengikuti tumbuh kembang janinku. Aku bahkan mulai lupa pada kekecewaanku semenjak aktif memperhatikan kehamilanku.

Aku sering mengajak anakku berkomunikasi, membacakan cerita dan mendengarkan musik yang menyenangkan. Selain itu, aku juga lebih rajin lagi beribadah. Aku seperti orang yang menemukan ladang baru untuk bercocok tanam. Belajar melihat diriku dan kehidupanku dari kacamata yang positif membuat hubunganku denganmu sedikit lebih baik. Perselisihan paham mulai jarang terjadi, apalagi dirimu lebih banyak mengikuti permintaanku daripada menentangnya. Semua berjalan sedikit lebih baik. Sampai pada saat aku harus pulang untuk acara tujuh bulanan.

Tradisi selamatan bagi keluarga yang sedang mengandung di kampungku waktu itu masih terpelihara. Meskipun tidak ada upacara adat yang beragam hanya sekedar kenduri saja, tetapi orang tuaku khususnya ibu mengirim kabar supaya aku pulang. Aku ragu dan merasa gelisah. Pulang itu artinya harus bertemu dengan orang-orang di kampung, rasanya aku belum siap mendapat tatapan yang mencibirku. Aku mencoba berdiskusi dengamu, tetapi dirimu justru mendorongku untuk pulang. Aku tak punya pilihan. Dengan naik kereta api, akhirnya aku pulang sendiri, sedang dirimu akan menyusul pada hari H, alasanmu masih ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan. Aku setuju saja.

Sepanjang perjalanan diatas kereta api yang penuh sesak, sesak pula kecamuk rasa yang ada dihatiku. Banyak sekali bayangan-bayangan seram yang menghantuiku. Bagaimana nanti ketika aku sampai di stasiun dan harus bertemu tetangga, mengingat stasiun yang begitu ramai untuk ukuran sebuah desa di tempat tinggalku. Beruntung sesampainya distasiun aku dapat langsung naik ke becak yang sudah parkir di halaman stasiun, dan tak perlu berbasa-basi dengan siapapun. Sampai dirumah sudah menjelang maghrib, jadi aman, tak perlu menyapa tetangga kanan dan kiri, aku bisa langsung masuk ke rumah.

Masalahnya sekarang adalah, bagaimana aku menenangkan hatiku ketika Bapak tak sedikitpun menyapaku. Airmataku tak kuasa ku bendung lagi. Aku menangis dikamarku. Tidak ibu ataupun adik perempuanku menyusulku. Aku sangat memaklumi semua itu. Aku Kembali terpuruk. Merasa sangat tidak berguna dan diliputi rasa bersalah yang meruntuhkan semua pertahananku. Selepas maghrib, beberapa tetangga yang diminta membantu mempersiapkan acara kenduri lusa sudah berdatangan. Setelah mandi dan berganti baju, aku mencoba untuk bergabung di dapur, sekedar berbasa-basi untuk menghilangkan kesedihan dihati. Aku lebih banyak menyimak daripada  ikut berbincang, sesekali saja menjawab pertanyaan dari mereka. "Pulang sendiri saja, Mbak?", tanya Mak Sam. "Inggih, Mak", Jawabku. "Tapi suaminya besok datang kan?," tanya Mbak Parmi. "Inggih, mbak", ujarku. "Kerja dimana to Mbak, suaminya,"tanya Lik Dar masih penasaran sepertinya. "Operator di kantor veteran, Lik,"jawabku sekenanya.

Aku sangat memaklumi keingintahuan mereka semua. Bayangan semua orang tentunya aku akan bersuamikan seseorang dengan pendidikan yang layak dan memiliki pekerjaan yang mapan. Pada kenyataannya semua itu tak terbukti. Aku tak pernah membayangkan akan jadi serumit ini. Ibu akhirnya memanggilku ke ruang tengah. Meski dengan nada sinis, Ibu masih mau menyapa dan berkomunikasi denganku. Selain menanyakan kabarku, ibu juga mengingatkanku untuk menjaga kehamilan ini baik-baik. Aku mengiyakan semua pesan baik yang disampaikan ibu. Aku sampaikan jika aku rutin memeriksakan diri di puskesmas, bukan di dokter spesialis tentunya, karena tak ada biaya untuk itu. Ibu ternyata menyemangati diriku. Menyampaikan bahwa di puskesmas pun tak masalah, yang penting terpantau oleh tenaga kesehatan.

Tak banyak persiapan yang dilakukan untuk acara selamatan tujuh bulanan. Tetapi ternyata ibu mengundang beberapa kerabat untuk hadir, termasuk Pakde dan Bude kakak dari Ibu. Bertemu Pakde kembali mengaduk perasaanku. Bagaimana tidak, sejak aku duduk di SD, Pakde yang selalu menyemangati aku hingga aku bisa jadi juara kelas. Bahkan Pakde meluangkan waktu untuk membantuku belajar saat akan maju lomba siswa teladan ke tingkat kabupaten. Banyak harapan baik yang senantiasa Pakde sampaikan padaku, setidaknya dapat mewujudkan impian ibu untuk menjadi wanita karir yang tak dapat diwujudkannya. Dan ternyata aku gagal.

Rasa bersalah yang sangat dalam aku rasakan. Aku hanya bisa memeluk Pakde dan menangis. Diluar dugaanku, Bude justru menguatkanku, bukan menyalahkanku. "Nok, jangan berlarut dalam rasa bersalah, sekarang waktunya memperbaiki semuanya, kamu pasti bisa, Bude yakin, kalau kamu berusaha, kamu masih bisa memperbaiki kesalahan ini", kata Bude sambil mengelus pundakku. "Iya, jangan bersedih saja", kata Pakde membenarkan ucapan Bude. Aku menghela nafas panjang dan mencoba untuk lebih tegar. Tak lupa aku berterimakasih kepada Pakde dan Bude yang masih berkenan memberikan dukungan untukku.

Sudah menjelang maghrib ketika Pakdhe menyelesaikan gambar wayang kamajaya dan Dewi ratih dicengkir gading yang melambangkan akan harapan agar jabang bayi jika laki-laki , akan tampan dan berbudi seperti Raden Kamajaya. Sedangkan jika perempuan akan cantik dan berbudi seperti Dewi Ratih. Kemudian, cengkir atau kelapa muda itu dipecah dan air serta dagingnya dimasukkan ke adonan rujak buah yang telah disiapkan. Aku sangat terharu, seburuk apapun kelakuanku dan kesalahanku, keluargaku tetap menaruh harapan yang baik untuk anakku, tetap memperlakukan aku sebagaimana mestinya, meski Bapak tetap mendiamkanku. Acara kenduri berjalan lancar tanpa kendala. Dirimu juga datang menepati janjimu. Banyak hal yang disampaikan Pakde dan Bude padamu, khususnya terkait kewajibanku untuk tetap menyelesaikan kuliahku. Mewakili keluarga, Pakde meminta kerelaanmu untuk mengijinkan aku melanjutkan kuliahku. Dirimu menyanggupi tanpa membantah sedikitpun. Aku sangat bersyukur, betapa dirimu ternyata bisa memahami dan menerima prinsip di keluargaku meski itu bertolak belakang dengan keluargamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun