Mohon tunggu...
Anita Lestari
Anita Lestari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sjamsul Nursalim Lebih Taat Hukum Dibanding KPK

12 Juni 2019   21:44 Diperbarui: 12 Juni 2019   21:52 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari belakangan, nama Sjamsul Nursalim (SN) kembali mencuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan SN dan isterinya sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan kerugian negara mencapai Rp 4,58 triliun.

Sjamsul Nursalim dan istri disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

KPK mengaku sudah menyelidiki keduanya sejak Agustus 2013. KPK mengatakan telah mengirim surat untuk penyidikan lebih lanjut, tapi keduanya tidak pernah datang untuk memenuhi panggilan KPK.

Lantas, mengapa SN dan isterinya tidak pernah datang untuk diperiksa KPK?
Mari kita melongok kembali kronologi kasus ini. Kasus BLBI sebenarnya sudah selesai di tahun 1999, ketika SN dan Pemerintah menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan terbitnya Surat Release and Discharge (R&D) dari Pemerintah.

Berdasarkan MSAA, kedua pihak sepakat bahwa SN akan menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Pemerintah Republik Indonesia sejumlah Rp 28,4 Triliun dengan uang tunai dan aset-aset berupa saham perusahaan-perusahan milik SN.

MSAA ini sudah closing di tanggal 25 Mei 1999, yang berarti kedua belah pihak telah mengetahui, mengakui, dan setuju atas pemenuhan seluruh hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Setelah SN menepati seluruh kewajibannya sebagaimana yang tertuang di MSAA, maka Pemerintah dan Menteri Keuangan Republik Indonesia pun menepati janji dengan menerbitkan Surat Release and Discharge kepada SN pada tanggal 25 Mei 1999. Lalu di tanggal yang sama, Pemerintah menegaskan kembali surat ini dalam bentuk Akta Letter of Statement No. 48 yang dibuat di hadapan notaris Merryana Suryana, SH di Jakarta.

Pada 26 April 2004,  Pemerintah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada SN sebagai penegasan bahwa SN telah memenuhi seluruh kewajibannya. Setelah terbitnya SKL, Kejaksaan Agung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) terhadap SN.

Rangkaian MSAA, R&D, SKL, hingga SP-3 yang diterima SN ini menunjukkan kasus ini sudah selesai secara hukum. Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi Prof. Mahfud MD menilai pengungkapan kasus BLBI yang telah berkekuatan hukum tetap, bertentangan dengan jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia.

Menurutnya, di dalam hukum ada tiga prinsip yang mesti dijadikan pijakan yakni, kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Pada prinsipnya, sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum, maka tidak bisa dibatalkan. Selain itu, setiap produk hukum yang dikeluarkan atas nama negara,  negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum kepada para penerimanya tersebut.

Ini bukan pertama kalinya berbagai pihak berupaya mengungkit-ungkit kembali penyelesaian BLBI. Di tahun 2001, MPR bahkan sampai menerbitkan TAP MPR No. X Tahun 2001 untuk menjamin kepastian hukum kasus ini. Aturan ini menginstruksikan Presiden untuk menjalankan dan mengimplementasikan MSAA secara konsisten. Pasalnya, jika jaminan kepastian hukum tidak bisa diberikan oleh negara, maka akan berimbas terhadap iklim investasi dan ekonomi di Indonesia.

Dua puluh tahun sejak penandatanganan MSAA, di tahun 2017 KPK mempermasalahkan kembali penerbitan SKL kepada SN. Ia dianggap belum menyelesaikan seluruh kewajibannya berdasarkan MSAA.

Padahal, pada November 2003 BPPN telah meminta konsultan keuangan internasional Ernst & Young untuk melakukan Financial Due Diligence (FDD) terhadap BDNI, perusahaan milik SN. BDNI dinyatakan secara agregat tidak memiliki kekurangan pemenuhan kewajiban. Bahkan, ditemukan kelebihan bayar sebesar USD 1,3 juta.

Untuk memperkuat temuannya, KPK meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan kembali pemenuhan kewajiban oleh SN. BPK kemudian menerbitkan Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang melanggar Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan tidak sesuai dengan general principles of auditing.

Misalnya, BPK membatasi ruang lingkup pemeriksaan dengan hanya menggunakan data yang disiapkan oleh penyidik KPK tanpa melakukan klarifikasi dengan pihak terkait. Lucunya juga, Laporan Audit BPK 2017 ini juga bertentangan dengan dua hasil pemeriksaan BPK sebelumnya terhadap SN, yaitu Laporan Audit Investigasi BPK 2002 dan Laporan Audit BPK 2006. Ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar audit keuangan.

Dengan sederet kejadian tersebut, bisa jadi SN dan isterinya lebih menghormati keputusan hukum yang telah ditetapkan negara dibanding KPK. Itulah mengapa mereka tak hadir saat dipanggil. Kasusnya sudah diputus selesai menurut hukum dari bertahun-tahun lalu. Meminjam argumen Prof. Mahfud MD, apa yang sudah ditetapkan hukum tidak boleh dibatalkan begitu saja.

Kita pun patut bertanya, apa sebenarnya motif KPK membuka kembali kasus yang sudah selesai ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun