Mohon tunggu...
Anita Kencanawati
Anita Kencanawati Mohon Tunggu... Penulis - Ketua WPI (Wanita Penulis Indonesia) Sumut

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jejak Jalan Berkabut Luka (Episode-3)

24 Januari 2022   13:20 Diperbarui: 25 Januari 2022   20:32 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rahasia Kepergian Bapak

Aku baru mengetahui rahasia penyebab bapak meninggal, sehari kemudian. Ibu yang kondisinya sudah agak membaik, memberikan beberapa koran lokal dan nasional yang memuat berita tentang insiden yang dialami bapak, sampai kemudian dirawat di rumah sakit dan meninggal.

"Bapak yang melarang kami memberitahu kamu, Rin. Bapak tidak mau jadi pikiran Ririn kalau diberitahu," ungkap Ibu dengan mata yang basah.

"Itu juga kenapa Bapak cepat dikebumikan. Waktu Bapak meninggal, jenazahnya harus diotopsi, jadi harus cepat dikebumikan. Maafkan, kami tidak menunggu kedatangan Ririn," jelas Ibu.

Aku menangis tersedu. Tak bisa lagi menahan semua kesedihan.

Koran lokal dan nasional yang diberikan ibu, akhirnya memberikan jawaban padaku, tentang penyebab bapak meninggal.

Kuamati semua pemberitaan tentang bapak di surat kabar. Kasus bapak mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Mulai dari anggota DPRD, pengacara, ketua organisasi wartawan tempat bapak berlindung, pemimpin redaksi tempat bapak bekerja, bahkan menteri yang terkait dengan instansi tempat bekerja si pelaku penganiayaan. Semua pihak meminta agar kasus bapak harus dituntaskan secara hukum, sampai ke pengadilan.

Aku juga membaca ucapan duka cita disampaikan organisasi wartawan tempat bapak bernaung, terbit di lima surat kabar lokal yang ada di Medan, atas meninggalnya bapak. Juga ada ucapan duka cita khusus dari Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi tempat bapak bekerja sebagai wartawan.

Semua surat kabar itu kemudian kusimpan di dalam lemari. Mungkin, karena aku mahasiswi Sejarah, aku belajar tentang perlunya menyimpan dokumen penting apa pun itu, termasuk surat kabar.

Insiden yang dialami bapak, membuatku jadi ingat, bagaimana bapak pernah melarangku untuk mengikuti jejaknya menjadi wartawan. Ketika itu, aku sudah mau tamat SMA. Bapak bertanya, aku mau melanjutkan kuliah di fakultas apa? Kujawab, jurnalistik atau publisistik.

"Jangan lagi jadi wartawan! Cukuplah, kakakmu saja yang sudah jadi wartawan," kata bapak tegas dan serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun