Mohon tunggu...
Anita Godjali
Anita Godjali Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru dan ibu rumah tangga

Potensiku ada pada diriku

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kamu Gak Tahu Siapa Saya?

10 Maret 2015   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya mau bezuk, izinkan saya masuk!”

(Sambil asyik memencet-mencet tombol gadget, seorang pria menggertak security penjaga pintu)

“Belum bisa Pak, belum buka silakan saja menunggu, itu yang lain juga masih menunggu.” (Kata petugas tadi dengan cukup tegas, sambil menunjuk para pengunjung yang duduk dan berdiri di berbagai sudut rumah sakit.)

“Hi…! Kamu gak tahu siapa saya?”

(Dengan sedikit emosional ia mendekati security agar dapat berbicara lebih dekat.)

“Emang Bapak siapa?”

(Tanya security dengan tetap menunjukkan otoritasnya sebagai orang yang berhak membuat keputusan di tempat itu)

“Saya Wakil Wali Kota”

(Jawab pria tadi)

“Kalau Wakil Wali Kota emang kenapa?”

(Jawab security tanpa bergeming dari tempatnya berdiri)

“O…begitu, namamu siapa?”

(Sambil seolah sibuk dengan gadget yang ada di tangannya)

“Gak penting!”

(Jawab security dengan acuh tak acuh menjawab pertanyaan pria pemegang gadget)

Mendengar jawaban security, pria setenngah baya tadi mulai terlihat emosi. Kembali ia menghampiri petugas agar dapat berbicara lebih dekat hingga tak ada orang mendengar apa yang diucapkan. Namun dengan otoritasnya sebagai petugas keamanan di rumah sakit tersebut, ia pun tak bergeming. Dengan seolah sibuk, ia berbicara dengan orang di seberang sana melalui gadget yang ada di tangannya sambil ngeloyor pergi..

Dialog di atas sungguh-sungguh terjadi pada hariMinggu beberapa waktu yang lalu. Peristiwa di sebuah Rumah Sakit swasta terkenal yang terletak di pinggir kota Jakarta ini cukup menarik. Banyak pengunjung yang akhirnya tersenyum-senyum dalam peristiwa ini. Menarik memang, tetapi terlihat sangat ironis. Bayangkan saja seorang pria yang mengaku diri sebagai seorang wakil walikota yang notabene seorang pejabat, menjadi bahan tertawaan. Tak sedikit pun ada rasa hormat dan simpati masyarakat terhadap peristiwa tersebut. Tentu semua ini terjadi karena arogansi ditunjukkannya.

Hal di atas tentu hanya salah satu contoh yang penulis temukan langsung. Berbagai peristiwa yang aneh dan nyleneh yang dilakukan oleh para oknum pejabat belakangan ini sungguh membuat hati miris. Tak hanya dalam tutur kata tetapi juga dalam tindakan yang tak pantas telah dipertontonkan kepada masyarakat. Tidak heran, jika saat ini banyak generasi muda yang juga melakukan berbagai tindak asusila, kekerasan, atau tawuran.

Siapa yang salah dan harus bertanggung jawab? Tentu pertanyaan menggelitik yang cukup sulit dijawab. Tak jarang banyak pihak akan menyalahkan sekolah ketika sudah terjadi peristiwa demikian. Namun sebenarnya pendidikan anak tidak hanya ada di sekolah. Keluarga dan masyarakat juga tempat bersekolah bagi generasi muda.

Berbagai tindakan arogansi, makian, hingga bentuk-bentuk negative lainnya menjadi faktor kehancuran karakter generasi muda. Bayangkan saja, jika para pejabat yang seharusnya menjadi teladan pun tak layak menyandang kata tersebut. Bisa kita bayangkan, apa yang akan terjadi pada negeri ini satu generasi ke depan?

Kekhawatiran ini muncul bukan tanpa alasan. Berbagai hal yang kurang terpuji kini menjadi santapan sehari-hari para generasi muda. Generasi muda tidak lagi punya daya saing dalam bidang pengetahuan dan prestasi. Generasi muda menjadi apatis dan tidak peduli. Berbagai persaingan tidak sehat justru menjadi pemandangan harian mereka.

Reformasi yang telah diperjuangkan lebih satu dasawarsa telah menjadi mandul. Demokrasi yang menjadi cita-cita kaum muda pun tak lagi bermakna. Demokrasi yang cenderung kebablasan. Dengan dalih hak azasi, orang dengan leluasa memaki, menghujat siapa saja yang dipandang tidak sepaham dengan dirinya. Hal semacam ini, sepertinya kian hari kian menggejala di seluruh lapisan masyarakat. Para pemimpin tak lagi mampu menempatkan dirinya secara tepat dan benar.

Arogansi para oknum pejabat ini ternyata sulit berubah. Walaupun sudah ada pemimpin yang mampu memberikan teladan. Ternyata tidak mudah mengubah kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging selama bertahun-tahun.

Namun, sebenarnya ada point penting yang menjadi keprihatinan kita. Bagaimana kita akan membentuk generasi muda ini jika setiap hari selalu mendapat contoh yang tidak layak? Akankah negeri yang terkenal karena kepribadiannya yang lemah lembut dan selalu bergotong royong itu tinggal sebagai legenda? Walahualam-Salam AST

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun