Belakangan ini kian marak kampus dan lembaga pendidikan di berbagai daerah, menyatakan deklarasi menolak intoleransi, radikalisme dan terorisme. Penolakan ini hampir dilakukan secara merata di berbagai daerah. Bahkan, pada tanggal 28 Oktober 2017 mendatang, kabarnya kalangan akademisi ini juga kembali melakukan aksi kebangsaan perguruan tinggi menolak radikalisme. Aksi yang akan dipusatkan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat ini, selain untuk memperingati hari sumpah pemuda, juga untuk menegaskan bahwa kalangan akademisi serius melawan praktek radikalisme dan intoleransi di dalam kampus.
Kampus semestinya memang bebas dari berbagai kepentingan, termasuk kepentingan radikalisme. Kepentingan kampus hanyalah mendidik generasi penerus, agar menjadi generasi yang cerdas, kreatif, inovatif dan mempunyai wawasan kebangsaan. Hal itu perlu karena banyak sekali orang pandai di negeri ini, tapi mereka 'rakus' dan tidak memikirkan kepentingan publik. Banyak orang inovatif, tapi tidak ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dan banyak orang kreatif, tapi kreatifitasnya itu hanya diperuntukkan untuk kepentingan kelompoknya saja.
Kampus memang telah dijadikan kelompok radikal, untuk menyebarluaskan ideologi yang mereka yakini. Jika kampus tidak dibersihkan dari praktek penyebaran radikalisme, dikhawatirkan mahasiswa yang telah terpapar radikalisme, berpotensi menjadi teroris jika selesai dari bangku pendidikan. Bahrun Naim misalnya. Dia adalah alumni UNS di Solo, Jawa Tengah. Dia merupakan ahli komputer dan IT. Sejak dulu dia rajin membuat blog. Sayangnya, kemampuannya ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan radikalisme dan terorisme. Bahkan, blog nya selalu digunakan sebagai media propaganda penyebaran radikalisme.
Contoh lain adalah Bahrumsyah. Nama ini santer disebut karena dia adalah warga negara Indonesia, yang memilih bergabung dengan ISIS dan mengajak semua orang bergabung ke ISIS di media sosial. Bahrumsyah awalnya merupakan mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan. Karena dia lebih tertarik kelompok Abu Jibril di Ciputat, pria ini memutuskan meninggalkan bangku pendidikan. Karena berbeda paham, Bahrumsyah kemudian merapat ke Aman Abdurrahkan yang terlibat bom Cimanggis 2005 dan Jantho. Ketika Aman dipenjara, Bahrumsyah kemudian bergabung dengan forum aktivis syariat Islam (FAKSI). Forum ini kemudian berbaiat ke ISIS, dan membuat Bahrumsyah pergi ke Suriah sekitar tahun 2014.
Kampus nampaknya masih menjadi tempat strategis. Tidak hanya mahasiswa yang terpapar, tidak sedikit para dosen yang mulai terpapar. Berbagai analisa menyebutkan, masuknya radikalisme di kampus ini diduga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang baru saja dibubarkan pemerintah karena dianggap tidak sesuai dengan Pancasila. Karena organisasi inilah, tidak sedikit mahasiswa kita justru ingin mendirikan negara khilafah, dari pada mempersiapkan diri untuk terjun ke dunia kerja setelah selesai menyelesaikan pendidikan.
Karena kampus sudah mulai terpapar radikalisme, maka kampus juga harus dijadikan ujung tombak pemberantasan radikalisme. Segala aktivitas di dalam kampus, harus benar-benar steril dari pengaruh kelompok radikal. Lembaga-lembaga dakwah kampus sebenarnya bagus, tapi jika itu dijadikan tempat untuk penyebarluasan paham radikal, tentu harus diluruskan. Jangan sampai di dalam kelas mereka belajar mata kuliah tertentu, tapi ketika ikut aktifitas di dalam kampus mereka belajar bibit intoleransi dan radikalisme.