Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membunuh Mental Inlanders di Kelas Sang Professor

17 April 2016   18:34 Diperbarui: 17 April 2016   18:43 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di masa kecil, saya hidup di pelosok desa di bagian Selatan Sulawesi-Selatan. Namanya Kabupaten Bulukumba. Daerah ini, secara geografis dan cultural terbagi dua; Bulukumba Barat yang subur dan dominan dihuni suku Bugis. Sementara, Bulukumba Timur dengan kondisi wilayah yang tandus dan dihuni suku Konjo.

Saya kebetulan lahir di Bulukumba bagian Barat. Sebuah wilayah yang serba ada. Potensi alamnya sangat menggiurkan. Di daerah ini, semua jenis tanaman tumbuh subur. Pertaniannya sangat maju, karena sumber air yang melimpah. Di daerah ini, sebagian besar warganya, tidak peduli dengan pendidikan. Bagi orang-orang tua kami dahulu, bersekolah hanyalah untuk belajar “membaca” dan “berhitung”. Kalau sudah bisa keduanya, berhentilah sekolah.

Bagi perempuan, setinggi-tinggi sekolahmu, pastilah tiba di dapur juga. Begitulah, pemahaman mereka. Maka, sebagian anak-anak lelaki, akan sangat membanggakan bila lebih cepat bergulat di sawah, kebun atau mengembala sapi. Sementara, anak perempuan dapat menikah lebih cepat. Sebagai ibu rumah tangga, mengurus anak dan suami.

Alasan yang masuk akal saat itu, tentu karena desa kami sangat subur. Seperti lirik lagu Koes Plus; Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Alam subur sangat bersahabat. Semua orang bisa hidup tanpa harus jauh-jauh mencari nafkah. Apalagi bersekolah tinggi-tinggi.

Kondisi itu berseberangan dengan desa-desa di bagian Timur Bulukumba. Di sana, desa-nya tandus dan kering. Penduduknya akan berduyung-duyung ke desa kami, sebagai buruh. Saat panen padi utamanya. Sebagian bekerja sebagai buruh tani yang membantu petani di kampung kami dengan sistem bagi hasil.

Tetapi, anak-anak desa di bagian Timur itu, kebanyakan bersekolah tinggi-tinggi. Mereka sadar, bahwa potensi alam tidak bisa menjadi jaminan masa depannya. Jadi, harus sekolah dan kelak bisa jadi pegawai, karyawan, atau guru. Mereka menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi. Walau dengan serba menderita. Banyak senior-senior saya dari desa-desa di Bagian Timur itu, punya cerita mengharukan bagaimana mereka kuliah sambil jadi buruh bangunan, tukang becak, bahkan kernet mobil pete-pete.

Kini, orang-orang di Timur Bulukumba lebih maju secara sosial maupun ekonomi. Banyak professor, dosen, guru, pejabat penting berasal dari desa-desa di Bagian Timur. Berbeda jauh dengan  desa kelahiran saya, yang kebanyakan masih bergelut sebagai petani tradisional. Sebagian besar melancong ke Malaysia. Atau berdagang. Orang-orang di daerah kami bisa berkembang seperti naik haji, memiliki rumah yang besar—itu lantaran (kebanyakan) mereka menjual tanah.

Orang-orang di kampung saya pun terinspirasi dari perjuangan kebanyakan warga di Bagian Timur Bulukumba. Di generasi sekarang, mereka mulai sadar betapa pentingnya menuntut ilmu. Sebab, pendidikan dapat mengangkat harkat dan martabat manusia di masa datang.

Sayangnya, orientasi mereka dalam pendidikan (sebagian besar) semata-mata untuk bisa bekerja dan mendapatkan uang. Saya teringat di masa kecil, ketika orang-orang tua bertanya soal cita-cita. Jawaban-jawaban kami (kebanyakan); bercita-cita jadi; Tentara, Polisi, dan Pilot.

Mengapa begitu? Belakangan saya paham, penyebabnya yakni karena orang-orang tua kami terdahulu hanya mengenal profesi-profesi itu saja sebagai pekerjaan terbaik. Terutama jadi Tentara atau Polisi. Pekerjaan itu berkaitan erat dengan memori nenek-moyang kami sebagai daerah yang juga pernah merasakan perang. Dan terutama, memori di masa Orde Baru Soeharto, bagaimana Profesi Tentara dan Polisi begitu ditakuti dan dihormati.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun