Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deparpolisasi atau Eliminasi Calon Independen

31 Maret 2016   06:11 Diperbarui: 31 Maret 2016   06:40 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu deparpolisasi, menguat setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) terkesan menolak pinangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan lebih memilih jalur independen untuk bertarung pada Pilgub DKI Jakarta 2017 mendatang.

Sosiolog UGM Yogyakarta, Arie Sutjito menjelaskan, deparpolisasi adalah upaya pemandulan terhadap partai, contohnya dengan membatasi jumlah partai atau tidak memberi ruang terhadap partai (Kompas, 11 Maret 2016). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deparpolisasi adalah “pengurangan jumlah partai politik.”

Deparpolisasi tentu berseberangan dengan prinsip berdemokrasi. Dalam pandangan ilmu politik, Partai Politik merupakan sarana utama yang menghubungkan antara kepentingan rakyat dan pengambil kebijakan. Karena itu, meniadakan peran partai, berarti merusak eskalasi demokrasi.

Deparpolisasi sebagai Kritik

Praktik deparpolisasi paling nyata terjadi di masa Orde Baru. Di masa itu, bukan saja jumlah partai politik yang dibatasi, tetapi akses ke partai selain partai penguasa juga dilimitasi.

Pasca reformasi 1998, partai politik mengalami pertumbuhan cukup positif. Berbagai kelompok kepentingan berbasis sosial, agama, maupun nasionalis, ramai-ramai membentuk partai politik.

Keberadaan partai-partai politik sejak reformasi menimbulkan euforia baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Implikasinya dapat terlihat pada kompetisi antar partai dan bagaimana publik memberi respon terhadap kehadiran partai di berbagai even Pemilu.

Pertama, semua partai politik memiliki kesempatan sama dalam memperkuat basis dukungannya. Jadi, tidak ada lagi istilah partai pemerintah atau partai hegemonik. Kedua, kompetisi antar partai yang plural menyebabkan persoalan pada pola atau strategi partai politik dalam mencari dukungan. Potensi kecurangan, terutama money politic kemudian menjadi sulit terhindarkan.

Maka, sejumlah riset menemukan bahwa dari waktu ke waktu partisipasi politik pasca reformasi terus mengalami penurunan. Artinya, jumlah partai serta sistem tarung bebas tidak linear dengan persentasi representasi. Logikanya, dalam kompetisi antar partai yang super bebas, angka partisipasi mestinya meningkat.

Ada kemungkinan, menurunnya angka partisipasi politik serta melemahnya kualitas representasi, disebabkan oleh skeptisisme publik terhadap partai. Masyarakat (konstituen) tidak hanya kurang percaya pada partai, tetapi pelan-pelan mulai mencurigai kinerja partai sekedar sebagai dramaturgi di level elit. Dalam bahasa sederhana, partai hanya berpikir untuk mempertahankan diri, tidak untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial.

Apa yang dilakukan ‘Teman Ahok’ boleh jadi sebagai respon atas kekacauan pola kandidasi politik. Bahkan, semua kita dimana pun, tentu percaya bahwa tidak ada yang gratis dalam suatu pendelegasian calon pada partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun