Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Merdeka dari Kepungan Sampah

9 Agustus 2018   09:13 Diperbarui: 9 Agustus 2018   21:04 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: manado.tribunnews,com

Di tengah laju pertumbuhan penduduk bumi yang mendekati angka sembilan Miliar, kita menghadapi suatu masalah serius bernama sampah.

Bumi ini terus terdesak oleh himpitan beban sampah yang menyumbat ruang bergerak manusa. Berbagai masalah telah ditimbulkannya, mulai dari kemunculan berbagai macam penyakit hingga bencana alam.

Seorang aktor kawakan asal Inggris bernama Jeremy Irons pernah dihantui kecemasan akut gara-gara sampah.

Jeremy kemudian melakukan plesiran keliling dunia, tetapi tidak untuk mendatangi spot-spot indah---Jeremy justru berkeliling  untuk melihat tumpukan-tumpukan sampah di berbagai belahan dunia.

Semua bermula dari rasa penasarannya, mengapa semakin banyak orang yang mengidap alergi, menderita disleksia, bahkan Attention Deficit Disorder (ADD)

Bersama seorang sutradara bernama Candida Brady, Jeremy terlibat dalam sebuah projek film dokumenter berjudul Trashed.

Film berdurasi 98 menit tersebut memotret bagaimana pengelolaan sampah di berbagai negara, mulai dari Lebanon, Vietnam, Islandia, Amerika Serikat, Cina hingga Indonesia.

Lewat film itu, Candida menemukan suatu fakta bagaimana racun-racun kimia seperti dioksin bisa ada pada tubuh bayi yang baru lahir, rupanya berasal dari sampah.

Pada sekuel awal film itu, Jeremy yang berdiri di sekitar pantai Sidon di Libanon menyaksikan pemandangan sebuah gunung sampah yang menjulang tinggi.

Itu adalah rongsokan beragam sampah rumah tangga, sampah medis, cairan racun, hingga bangkai binatang yang telah bergelantur selama 30 tahun di kota itu.

Jeremy juga menjelajahi laut pasifik dan menyaksikan tarian berton-ton sampah. Sampah-sampah plastik kebanyakan. Binatang laut termasuk ikan-ikan akan memakannya.

Lalu, biota laut tersebut kembali akan dimakan manusia. Maka, dalam tubuh manusia, racun polutan dioksin dapat terakumulasi. Melahirkan berbagai penyakit bahkan memperbesar angka kematian mendadak bagi manusia.

Film Trashed menegaskan perlunya suatu upaya serius demi menghalau dampak berbahaya di balik lonjakan beban sampah. Jeremy berseru: "Lita semua harus melakukan sesuatu untuk bumi dan kelangsungan hidup manusia, mari mulai kurangi sampah!"

Seberapa Merdeka Kita dari Kepungan Sampah?

Benar kata Jeremy, harus ada upaya kolaboratif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk mengatasi beban persampahan.

Di Indonesia, dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar, sampah sudah menguasai pusat-pusat kota. Dampaknya beberapa kota di antaranya seperti Jakarta, Surabaya, Jayapura dan lainnya telah terpapar volume sampah dengan skala besar.

Indonesia bahkan telah dinobatkan sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina.

Parahnya, penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Lamb, et.al (2018) yang berjudul Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs menunjukkan, bahwa sampah plastik paling banyak ditemukan di Indonesia, yakni 25,6 bagian per 100 m2 terumbu karang di lautan.

Itu berarti tidak sedikit sampah yang dihasilkan di darat telah dibuang ke laut. Persis seperti apa yang digambarkan dalam film Trashed.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016, produksi sampah per hari tertinggi berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Pada 2015, produksi sampah di Surabaya sebesar 9.475,21 meter kubik dan meningkat menjadi 9.710,61 meter kubik di 2016. 

Wilayah lain di luar Pulau Jawa yang produksi sampahnya tinggi adalah Kota Mamuju, yaitu 7.383 meter kubik dan Kota Makassar, sebesar 5.931,4 meter kubik pada 2016.

Sementara dari pemantauan Statistik Lingkungan Hidup pada 2010 hingga 2016, ditemukan bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya mengalami kenaikan produksi sampah.

Tentunya dengan Pulau Jawa sebagai penyumbang terbesar karena kepadatan penduduknya yang lebih tinggi dibandingkan pulau lainnya (Irma Garnesia, Tirto.id).

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun (B3), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan proyeksi volume sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga pada 2018 mencapai 66, 5 juta ton. Artinya, menurut Vivien, setiap orang menghasilkan 0,7 kg sampah per hari.

Bayangkan, betapa besar beban persampahan nasional.

Pada saat yang sama, kita masih mengalami masalah besar yakni infrastruktur pengolahan sampah belumlah memadai.

Masih menurut Vivien, untuk membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang bagus membutuhkan biaya sekitar 125 ribu per ton sampah.

Faktanya, pemerintah daerah umumnya hanya menyiapkan anggaran sebesar 30 juta. Tidak heran bila tidak semua daerah di Indonesia memiliki TPA dengan standar pemilahan dan pengolahan sampah yang representatif.

Perubahan Paradigma

Padahal permasalahan sampah tidak saja pada perihal produksi dan keterangkutannya, tetapi juga pada masalah pemilahannya.

Data BPS 2014 menunjukkan kesadaran masyarakat Indonesia dalam pemilahan sampah masih tergolong rendah. Perilaku tidak memilah sampah sebelum dibuang naik dari 76,31 persen pada 2013 menjadi 81,16 persen di 2014.

Maluku Utara adalah daerah dengan kesadaran memilah sampah terendah di Indonesia. Pada 2014, 91,82 persen rumah tangga menyatakan tidak memilah sampahnya sebelum dibuang.

Secara statistik, baru Provinsi Sulawesi Selatan yang masyarakatnya cukup tinggi dalam kesadaran memilah sampah. Sebanyak 31,88 persen rumah tangga yang sudah melakukan pemilahan sampah dan 68,11 persen belum memilah sampah.

Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilih sampah tentu berdampak pada belum maksimalnya pendauran ulang sampah. Tetapi itu juga disebabkan model-model pengelolaan sampah saat ini masih pada logika membuang sampah.

Oleh sebab itu, diperlukan model berkelanjutan melalui circular economy (ekonomi melingkar). Model ini adalah upaya mengubah cara pandang masyarakat terhadap plastik yakni tidak sebagai sampah tetapi sebagai sebuah komoditas yang berpotensi dikembangkan.

Model-model circular economy belakangan telah diterapkan di berbagai kota seperti di Makassar, Badung, dan lainnya.

Ini membutuhkan kolaborasi dan peran semua pihak khususnya masyarakat. Selain nilai tambah secara ekonomi, model ini juga dapat menciptakan nilai tambah sosial yakni pemberdayaan masyarakat.

Pendekatan yang lebih inovatif dan kreatif jelas diperlukan dalam menangani masalah persampahan di Indonesia.

Dari sisi kebijakan, misalnya, harus ada komitmen kuat dari pemerintah untuk mendukung terwujudnya budaya bersih dalam masyarakat, diantaranya melalui penguatan kelembagaan.

Seperti diketahui, pemerintah menargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga pada 2018 mencapai 15 persen. Hingga 2025, targetnya 30 persen.

Bisa dikatakan target pemerintah bukan mustahil bisa diwujudkan bila ada peran kolaboratif semua pihak.

Semua dimulai dari upaya mengubah mindset masyarakat dalam memandang sampah sebagai tanggungjawab bersama.

Kata Jeremy, perihal sampah membutuhkan perubahan sikap semua manusia.

Tentu dimulai dari diri sendiri. Mulai dari lingkungan terdekat. Sekarang juga! Kita harus bergerak bersama menjadi bangsa yang merdeka dari kepungan sampah! Atau bersiaplah menerima bencana besar di balik sampah yang menggunung setiap harinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun