"Jika kamu menikah dan mengalami apa yang Mbak alami kamu pasti akan mengerti, Rasti," balasnya.
"Tapi kenapa tidak bicara dengan ibu? Kenapa harus disembunyikan?" tanyaku lagi.
"Ibu tahu Rasti. Hanya kamu yang belum karena kami tahu kamu tidak akan menyukainya," balasnya.
"Maafkan aku, Rasti," lanjutnya kemudian memelukku.
Tuhan. Inikah yang namanya pernikahan? Kenapa begitu rumit sekali. Lantas bisakah aku melakukan ini jika ini terjadi padaku? Kenapa begitu lembut sekali hatimu, Mbak Ri? Kenapa? Sekali lagi aku iri denganmu.
"Maafkan aku, Mbak," ucapku mengeratkan pelukan.
"Menikahlah Rasti. Di dalam pernikahan tidak hanya akan selalu ada kebahagiaan. Pasti akan ada duka juga pengorbanan di dalamnya. Maka salah jika kamu tidak ingin menikah hanya karena takut kepedihan akan datang di dalamnya," ucapnya lembut.
Hari ini aku menemukan pelajaran berharga. Tentang cinta, pengorbanan, ketegaran, keikhlasan darinya. Sungguh malu sekali rasanya aku, ketika menganggap pernikahan adalah sebuah kesempurnaan hidup yang hanya akan diisi oleh kebahagiaan saja. Padahal tidak sama sekali. Karena hidup tak selamanya hanya ada bahagia, Â juga tak hanya ada derita, tapi keduanya pastilah ada.