Kudengar kau memanggilku lirih. Barangkali tak percaya melihat aku mendadak menggila.
"Aku kotor, Bayu. Aku kotor," ucapku dalam isak.
Aku masih tak henti. Masih meronta dalam tangis. Masih terbelit pada sesak di dada.
"Kotor?"
Senyap. Barangkali ribuan tanya menyeruak. Atau bahkan ada amarah yang memuncak. Siapa peduli?
Ribuan kali angin menerpa, tapi masih tetap sama. Panas di dada tak jua mereda.
Aku sudah cukup lama membungkam suara. Untuk apa? Jika pada akhirnya semua akan terlihat, terungkap.
"Kau tidak perlu memintaku lagi. Tidak perlu," ucapku lirih.
Tangisku sedikit mereda. Kuseka buliran air mata yang membasahi wajahku. Berusaha sekuat mungkin untuk menegarkan diri.
"Aku harus mengatakan ini padamu. Ya, aku harus mengatakannya," suaraku berubah gugup. Entah harus kumulai dengan cara bagaimana.
"Apa? Apa yang ingin kau katakan, Gi?"
Tanyamu barangkali sedikit membuatku memiliki keyakinan untuk mengatakan segalanya.
"Aku..., Aku hamil."