Wajah tegas, tubuh tinggi tegap, tidak kurus juga tidak gemuk, kulit sedikit gelap, sorot mata tajam. Dia tidak tampan, juga tidak jelek. Dia istimewa. Tapi bukan olehku.
"Lihatlah, aku tengah menatapmu sekarang. Lalu apa lagi?"
"Bukan itu maksudku, tapi..."
"Tapi apa? Kau itu siapa? Selalu saja mengatur kehidupanku!"
Aku berdiri, mencoba beranjak pergi. Kesiur angin masih menemani. Mengibarkan rok panjangku ke sana kemari.
Aku benci, aku benci entah pada siapa. Andai kau mengerti? Siapa yang ingin aku seperti ini!
"Anggita!"
Langkahku terhenti. Kau mencegatku. Mencengkeram erat pergelangan tanganku.
Sementara semilir angin masih terus mendayu-dayu. Masih terus menyibak-nyibak rok panjang juga hijabku.
"Aku Bayu. Kau tak mau melihatku? Kau bilang kau suka angin karena mereka menyejukkanmu, menenangkanmu."
"Apa maksudmu? Hanya karena namamu Bayu lantas kau ingin aku menganggapmu angin? Menganggapmu sesuatu yang setiap hari mampu menenangkan pikiranku?" Aku menepis cengkeramanmu.