Aku pernah mengalami ini di masa lampau. Sekali, dua kali, berkali-kali. Dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun. Sakit? Tentu saja. Bahkan teramat sakit. Kelemahanku membuatku terpuruk, hanya bisa diam, menangis dan memaafkan.
Barangkali ini cerita yang hampir sama. Meski ada sedikit beda. Tiada air mata. Itu saja! Dan sayangnya ini jauh lebih membuatku menderita. Sebab nyatanya keadaan ini memang lebih memilukan dari yang lalu-lalu.
"Kau kenapa? Akhir-akhir ini kau lebih banyak diam, Gi," sebuah tanya terlontar dari lelaki yang kini tengah bersamaku. Dan itu kau, Bayu.
"Aku tidak tahu, mungkin aku hanya butuh ketenangan," jawabku lirih.
"Ketenangan?"
Aku tersenyum getir. Berkali berusaha mencoba mengingat kapan terakhir kali aku tersenyum tulus, juga menangis. Segalanya hambar, tak berasa.
Di antara kesiur angin, kucoba pejam mata. Mencari makna dari segala nyata yang ada. Jika kisah-kisah yang kulalu adalah layaknya dedaun kering yang kemudian harus pergi menghilang diterpa angin, maka biarlah.
Aku cukup tangguh untuk sendiri menyesapi sepi. Bertikar rumput hijau, menghadap padang ilalang yang menari-nari. Mereka seperti melambai ke arahku, dalam suara sunyi lalu berseru, 'bertemanlah dengan kami, menarilah bersama.'
Sementara kau Bayu, hanya nyata yang kuanggap maya. Aku sunyi. Terlalu sunyi.
"Sebenarnya kau kenapa? Kenapa harus sediam ini?"
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku benar-benar hanya butuh ketenangan saat ini. Tidak ada lagi selain itu," aku tersenyum hambar.