Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Cinta Tak Memberi Jalan

16 Maret 2019   12:12 Diperbarui: 16 Maret 2019   12:41 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bukankah beda manusia dilihat dari amalnya? Derajat harta, tahta, semua itu bukanlah sebenar-benar pembeda. Sebab itulah aku memberanikan diri untuk melamar Ana, seorang gadis yang sekian lama kukagumi.

Dia gadis baik, pendiam juga pintar. Berbeda dengan gadis lain yang kebanyakan terpengaruh pergaulan bebas. Wajar, sebab Ana dididik oleh keluarga yang cukup baik, bahkan ia dulu seorang santri di pondok pesantren. Kini ia mengajar di sebuah Madrasah. Semakin besarlah kekagumanku padanya.

Pada mulanya aku takut untuk melangkah lebih jauh. Teringat akan siapa aku. Aku hanya lelaki biasa yang jauh sekali dari kata sempurna. Aku bukan anak orang kaya. Pekerjaan pun masih serabutan, kadang menjadi sopir, kadang menjadi kuli, pun pernah beberapa tahun menjadi seorang nelayan di Negeri seberang.

Ketekadanku didorong oleh salah seorang sahabat, Mudin namanya. Dia teman sejak kecil, rumahnya tak jauh dari rumahku. Dia bilang, aku harus berani maju. Dengan langsung melamar, datang ke orang tua Ana, itu pasti akan membuat mereka terkesan. Dan akan jauh lebih baik dibanding dengan jika aku mendekati Ana terlebih dahulu kemudian mengajaknya untuk berpacaran, demikian katanya.

Langkahku dipenuhi rapalan doa. Aku tegang, jelas saja. Padahal belum juga sampai, tapi badanku sudah gemetar. Tak henti aku bersholawat, berharap mendapat nuansa ketenangan.
Rumah Ana memang tak jauh dari rumahku, aku tak perlu berkendara. Butuh waktu sekitar lima belas menit aku bisa sampai meski hanya dengan berjalan kaki. Aku memutuskan datang seorang diri. Ya, ini sebagian dari rencana. Aku memutuskan datang sendiri dulu, baru jika aku sudah mendapat lampu hijau aku akan datang bersama orang tuaku.

Sampai. Kuhentikan langkahku di depan rumah Ana. Sepi, meski nyala lampu terlihat dari luar. Aku yakin di dalam ada orang. Barangkali mereka tengah mengaji atau menonton televisi. Dengan gugup kuberanikan diri mengetuk pintu dan mengucap salam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa' alaikumsalam."
Aku segera mendapat jawab kemudian pintu perlahan terbuka.

Ana. Jantungku semakin tak karuan. Aku mencoba tersenyum padanya.

"Bang Ali," sapanya.

"Ia Dek," balasku setengah malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun