"Aku tahu Bintang, mencintaimu adalah sebuah keharusan untukku. Tapi ...," kataku terhenti. Tak mampu meneruskan.
"Sssttt, tidak perlu kau paksa. Biarkan segalanya hadir perlahan. Agar tidak menjadi beban," selamu.
Dan seharusnya aku memang sanggup mencinta. Sebab kau bintang, kau penerang.
Adalah aku yang hingga detik ini masih bisu dengan segala perasaanku. Aku tahu Bintang, kau bentuk kesempurnaan yang Allah ciptakan. Namun aku, entah mengapa kebodohan seolah menyelimutiku. Aku terus bersarang dalam keengganan. Aku seharusnya mencintaimu, seharusnya menerimamu, seharusnya mampu memandang segalamu. Aku ringkih.
"Agha datang, Ge. Kau bisa ke sini sebentar kan?" Danis, sahabat sekaligus tetanggaku menelepon.
"Agha? Tapi Bintang sebentar lagi pulang," balasku.
"Jadi?" Tanyanya.
"Baiklah," balasku akhirnya mengiyakan.
Aku mengumpulkan keberanian. Pada waktu-waktu yang sedikit sekali bisa kuburu. Aku melangkah tergesa. Menghadirkan suara-suara gesekan pijakan tanah. Menemui Agha.
Aku resah. Bimbang tentang tujuku padanya. Sementara seharusnya aku bersiap menunggu kepulangan Bintang. Meski nyatanya selalu hanya ada kesunyian dalam setiap sambutan. Layak malam yang kelam.
"Agha," lirihku.
Aku melihatnya. Lelaki itu, lelaki yang hingga kini masih mengisi penuh hatiku.