Mata itu menatapku, dengan tatapan yang aku sendiri tak dapat mengartikannya.Â
Tatapan sinis, menghina, culas atau entah apalagi yang sesuai dengan tatapan itu. Tatapan yang membuatku merasa begitu nelangsa.Â
"Aku tidak bersalah" Kataku membela diri
"Apakah jika pendapat kita berbeda dengan orang lain, kita dikatakan salah. Apa yang salah di sini? "Â
Aku berteriak membela diri, tapi tidak ada gunanya. Mereka tetap kukuh dengan pendiriannya.Â
Aku melangkah menjauh dan pergi. Mungkin lebih baik diam. Meski dalam pikiran ku berkecambuk liar tapi tak ada untungnya juga menentang arus. Air tidak pernah menentang batu, tapi mengitarinya. Lama-lama batu itupun akan hancur. Ya, untuk apa memperjuangkan sesuatu yang tidak perlu diperjuangkan, hanya menang-menangan ngomong juga tidak membawa hasil.Â
Dalam diamku aku protes, mengapa orang takut berbeda dengan orang lain. Bukankah Tuhan telah menciptakan semua di dunia ini berbeda-beda. Musik tidak akan terdengar indah jika dari alat musik yang sama. Taman akan terlihat mempesona jika terdapat bunga berbagai warna disana. Apa yang salah?Â
Aku teringat, aku pernah melihat tatapan seperti itu. Tatapan menghina, jijik dan entah apalagi. Tatapan yang selalu terbayang di benakku, tatapan  penuh tuduhan dan vonis yang aku tak tahu mengapa awalnya.Â
Di sebuah RSU, aku duduk menunggu. Sesekali melihat pintu ruang periksa dimana suami dan adiknya berada. Kenapa begitu lama? Ada tanya dibenakku. Aku masih memangku anakku ketika pintu itu terbuka, seseorang dengan gaya arogan keluar bersama adik suamiku.Â
"Itu anak dan istrinya" kata adik suamiku lirih padanya.Â
Perempuan itu memandangku dengan tatapan yang aku tak dapat artikan, tapi aku dapat rasakan. Betapa aku merasa, seperti dihempaskan ke jurang yang paling dalam.Â
Ada apa?Â
"Aku disarankan untuk cek HIV tiga faktor, karena mereka menduga aku terserang AIDS" kata suamiku sepulang dari RSU itu.Â
Aku hanya diam mendengar itu, karena bukan pertama kali diagnosa itu aku dengar. Meski secara logika jika suamiku terserang HIV tidak mungkin dia bertahan sampai 12 tahun dengan penyakitnya itu. Ah sudahlah, untuk apa berdebat dengan  sesuatu yang tidak pasti, dan untuk memastikan akhirnya kami mengikuti saran itu untuk cek HIV tiga faktor. Dan ternyata hasilnya negatif, suamiku bukan seorang ODHA.Â
Aku bersyukur tetapi juga kecewa, karena penyakit suamiku masih belum diketahui penyebabnya.Â
Tetapi aku sudah bisa merasakan, bagaimana tatapan orang pada ODHA, setidaknya aku tidak akan melakukan hal yang sama.Â
Orang yang sehat belum tentu lebih mulia dari orang yang sakit, karena sakit itu juga ujian dari Allah SWT. Setiap orang akan diuji, baik dengan sakit ataupun dengan sehat.Â