Mohon tunggu...
Anisa Dara Oktaviani
Anisa Dara Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - an INFJ little one

verba volant, scripta manent.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Ngetik Singkat, Emosi Meningkat?

11 Maret 2022   08:16 Diperbarui: 11 Maret 2022   08:20 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Ngambek dikit langsung ngetik singkat." Meme yang diunggah oleh akun @jowoshitpost di Twitter pada tanggal 14 Februari 2021 ini menuai banyak respons dari pengikutnya perihal cara seseorang merespon pesan di WhatsApp. Balasan "iya" dan "iyaa" meskipun memiliki makna leksikal yang sama, tetapi persepsi dari setiap penerima pesan tidak selalu sama. Seperti komentar dari akun @nadhilsatria "and 'iyaa' would be the best way to reply chat doi" yang dikomentari kembali oleh akun @RanyAmaliaPutr1 "lebih ke 'iya' a nya 1 si." Hal ini seolah-olah satu huruf dapat merubah makna sebuah kata. Terlebih jika kita hanya membalas dengan "ya", orang yang menerima pesan akan berasumsi lain dan timbul sentimen terhadap pengirim pesan. Misalnya, berasumsi bahwa "ya" merupakan cara singkat dan cepat lawan bicara dalam menanggapi pesan seolah-olah ingin segera mengakhiri percakapan tersebut, padahal dalam KBBI bentuk baku dalam menyatakan setuju atau membenarkan sesuatu adalah dengan kata "ya", bukan "iya", "iyaa" ataupun "iyaaaaa." Setiap kata meskipun memiliki makna leksikal yang sama, mereka dapat meimbulkan jenis emosi yang berbeda.

Fenomena berbahasa dalam percakapan di media sosial, khususnya media chatting seperti WhatsApp menjadikan kata memiliki tingkatannya tersendiri dalam pemaknaan. Makin singkat frasa atau kalimat yang digunakan, makin negatif makna yang disematkan oleh penerima pesan. Balasan yang singkat dianggap bahwa percakapan tersebut tidak penting sehingga timbul persepsi bahwa lawan bicara ingin segera mengakhiri percakapan atau dianggap juga bahwa lawan bicara sedang marah, seperti komentar yang ditulis oleh akun @fyanteaa "ngetik singkat belum tentu ngambek, ngambek pasti ngetiknya singkat."

Kata "ya" dalam percakapan di WhatsApp mendapatkan predikat paling negatif dalam tingkat pemaknaan karena dianggap sangat singkat. Kemudian, kata "iyaa" mendapatkan predikat lebih positif karena adanya penambahan satu huruf dapat merubah kesan menjadi lebih positif. Ada predikat yang lebih positif lagi dari "iyaa", yakni "iyaaaa" karena dinilai adanya antusiasme dari lawan bicara. Predikat paling positif didapatkan oleh "iyaaaa " yang menggunakan emoji. Makin panjang kata yang digunakan akan makin memberikan pemaknaan yang positif dari penerima pesan, terlebih lagi jika menggunakan emoji. Berdasarkan hasil penelitian Arafah & Hasyim (2019) menyebutkan bahwa emoji dapat mewakili pikiran dan perasaan, alih-alih menggunakan bahasa verbal. Sedangkan menurut Mariyam (2021) penggunaan emoji di WhatsApp dapat mengurangi mispersepsi, mewakili perasaan atau ekspresi serta meningkatkan keakraban antarpengguna WhatsApp.

Frasa lain yang sering menimbulkan ambiguitas dan mispersepsi adalah terserah, gimana kamu, otw, dan gpp. Makna beberapa frasa tersebut bisa menjadi makna kebalikan dari makna aslinya. 'Terserah' dan 'gimana kamu' memiliki makna yang sama, tetapi 'gimana kamu' memiliki konotasi yang lebih halus. Kedua kata tersebut merupakan kata yang ambigu karena maknanya bisa bergantung kepada seseorang atau bisa juga bermakna masa bodoh. Otw atau on the way tidak selalu bermakna dalam perjalanan, terkadang diucapkan ketika seseorang masih di rumah. Gpp atau tidak apa-apa dapat bermakna memaklumi sesuatu atau menyatakan baik-baik saja. Namun, dalam konteks dan tanda-tanda tertentu maknanya dapat menjadi berseberangan dengan makna aslinya.

Ambiguitas makna dalam pesan teks WhatsApp tidak hanya dari singkat atau tidaknya kata yang digunakan. Peralihan kode dari bahasa santai ke bahasa formal juga disinyalir adanya perubahan mood atau emosi seseorang. Seperti komentar yang ditulis oleh akun @bukopijasahost "ngambek dikit ngetiknya langsung formal. Biasanya 'santaiiiiiii heee losss', jadi 'iya, tidak apa2 '". Dari komentar tersebut juga dapat diketahui bahwa emoji juga bisa menjadi simbol sebuah pernyataan yang satire.

Hasil penelitian Reddy dkk (2020) mengenai analasis dan prediksi emosi yang disebabkan oleh percakapan di WhatsApp menunjukkan bahwa percakapan di media sosial dapat menimbulkan dorongan berupa cyberpscyho, yakni efek psikologis serta implikasi komputer dan teknologi daring seperti internet dan realitas virtual (Takwin, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa pemaknaan pesan di media sosial, khususnya WhatsApp melibatkan kondisi psikologis seseorang seperti suasana hati. Misalnya ketika dalam keadaan emosi, pesan yang maknanya biasa saja terkesan menjadi lebih tendensius. Pun sebaliknya ketika suasana hati dalam keadaan baik, pesan yang berisi kata-kata tendensius dapat dimaknai biasa saja. Senada dengan teori semiotik yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure bahwa linguistik berhubungan juga dengan psikologi sosial, penanda dan petanda yang menginterpretasikan makna bergantung pada faktor psikologis yang disatukan dalam pikiran oleh hubungan asosiatif antara sebuah tanda dengan interpretasi maknananya.

Faktor lain yang memengaruhi interpretasi pemaknaan pesan teks di WhatsApp adalah adanya kecenderungan dari penerima pesan untuk mendapatkan balasan sesuai dengan yang mereka harapkan. Ketika mengirimkan pesan yang panjang, terkesan ceria dengan menggunakan emoji tetapi dibalas dengan kata-kata singkat, padahal yang diharapkan balasan dengan kata-kata yang lebih panjang dan menggunakan emoji karena sebagian pengguna WhatsApp menganggap emoji menunjukkan tingkat antusiasme seseorang dalam percakapan. Hal ini berkaitan juga dengan kesantunan dalam berkomunikasi, baik komunikasi secara verbal maupun nonverbal. Namun, kesantunan tidak dapat digeneralisasikan karena santun menurut kita belum tentu santun menurut orang lain sehingga acuannya dilihat dari kebiasaan dan kultur yang berlaku. Di sinilah pentingnya adanya common ground atau kesamaan persepsi antarpengirim pesan. Jika sudah mengetahui kebiasaan, gaya bahasa, gaya penulisan yang sering dipakai, kultur yang melekat pada lawan bicara, maka balasan dengan kata-kata yang singkat atau bahasa yang formal tidak akan menjadi sebuah masalah bagi penerima pesan.

Memaknai pesan yang diterima juga tergantung pada konteks pembicaraan. Saifullah (2018: 3) menyebutkan bahwa yang penting dalam menggunakan dan memaknai bahasa bukan hanya bergantung pada struktur kalimat atau aspek linguistik lainnya, namun juga meliputi pengetahuan kita tentang apa yang dituturkan. Yang harus diperhatikan dalam konteks adalah waktu, tempat serta referensi. Waktu dan tempat akan membangun proses mental untuk menginterpretasikan makna dengan tepat serta referensi akan memberikan informasi untuk menghindari ambiguitas dan menciptakan interpretasi. Oleh karena itu, mengetahui keadaan seseorang ketika sedang melakukan percakapan di WhatsApp menjadi hal yang penting. Kata-kata bisa menjadi ambigu ketika pesan dikirim di waktu yang kurang tepat. Contohnya melakukan percakapan ketika lawan bicara dalam keadaan sibuk, teks yang dikirim oleh lawan bicara akan lebih singkat, kemudian diasumsikan oleh penerima pesan bahwa kata tersebut terkesan ketus.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa memaknai sebuah pesan melibatkan berbagai aspek, tidak hanya aspek linguistik, tetapi juga aspek sosial dan psikologis. Dengan memahami konteks, adanya common ground antar penerima pesan, dengan siapa kita berkirim pesan, dan bagaimana kondisinya ketika berkirim pesan, maka ambiguitas dan mispersepsi dalam pemaknaan pesan dapat diminimalisir sehingga tercipta komunikasi yang baik tanpa adanya anggapan negatif antarpengirim pesan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun