Mohon tunggu...
Anindya Nur Aprillea
Anindya Nur Aprillea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjajaran

Isu Sosial Politik Global

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Potret Populisme: Memperkuat atau Melemahkan Masa Depan Demokrasi di Indonesia?

6 Desember 2022   18:30 Diperbarui: 6 Desember 2022   18:34 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diskursus populisme telah menjadi fenomena politik global yang turut mewarnai dinamika praktik demokrasi  dalam suatu negara, termasuk Indonesia. Menurut Margaret Canovan, populisme lahir akibat krisis demokrasi, bahkan dirinya menyebut bahwa sejatinya populisme merupakan bayangan dari demokrasi. Umumnya, fenomena populisme terjadi seiring dengan menurunnya ideologi politik dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, dimana kebangkitan populisme telah menjadi bagian dari perebutan kekuasaan dalam dominasi oligarki (Robinson dan Hadiz, 2004). 

Populisme di Indonesia hadir dengan sejarah panjang yang dibentuk dalam sistem kekuasaan negara yang sangat sentralistik, pervasif, dan birokratis yang ditetapkan oleh Soekarno atas dasar gagasan yang seimbang mengenai hubungan antara negara dan masyarakat.  Gagasan tersebut melahirkan prinsip panduan untuk 'Ekonomi Terpimpin' dan 'Demokrasi Terpimpin' dengan mengistimewakan birokrasi dan kepresidenan yang kuat (Feith, 1963). Penerapan populisme ketika era Soekarno, seringkali mengkooptasi kepentingan politik yang berbeda dan bahkan saling bertentangan, ke dalam konsep persatuan nasional yang bertujuan untuk menyatukan semua ideologi tersebut. 

Setelah kekuasaan Soekarno berakhir, banyak gagasan yang dilanjutkan dan dibentuk kembali untuk melayani kepentingan saat Indonesia memasuki dunia oligarki dan kapitalisme global di bawah Soeharto. Pada saat yang sama, rezim sekarang menikmati ikatan politik dan ekonomi yang lebih dekat dengan pemerintah Barat dan lembaga keuangan serta perbankan global seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. 

Menjelang akhir 1990-an, Indonesia mengalami krisis ekonomi, dengan nilai mata uang rupiah yang terjun bebas dan sektor korporasinya tenggelam dalam utang, yang kemudian diikuti oleh jatuhnya Soeharto sendiri dan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Peralihan pemerintahan oligarki ke era pasca-Soeharto lalu ke era reformasi bukanlah perkara sederhana.

 Pada akhir masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (2004--2014), kekecewaan yang meluas terhadap pemerintahan berturut-turut digabungkan dengan kekhawatiran yang lebih dalam karena pertumbuhan melambat dan kekayaan terkonsentrasi di tangan yang lebih sedikit, sementara pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan cenderung menurun (Damuri  dan Day, 2015: 19--22). Dalam kerangka demokrasi baru, keresahan publik dengan infrastruktur yang memburuk, pemerintahan yang korup dan tidak efisien harus dituntaskan. Dengan demikian, pintu terbuka bagi para politisi yang membawa janji-janji pembaruan terhadap sistem politik dan kebijakan yang pro rakyat.

Fenomena populisme dalam kontestasi politik kontemporer di Indonesia tahun 2019, khususnya pada saat Pemilihan Presiden, dapat dikatakan sebagai peristiwa yang turut mendukung kebangkitan populisme di Indonesia. Narasi, fokus isu, dan propaganda politik yang dibawakan oleh pasangan calon cenderung menunjukkan konsep populisme yang dikemas melalui politik identitas. Fenomena tersebut tampak dari kedua pasangan calon presiden yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin cenderung mengibarkan populisme yang berkaitan dengan politik identitas dengan ciri khas 'blusukan' atau menonjolkan sikap yang sederhana, melakukan dialog dengan masyarakat, dan terjun tanpa pemberitahuan formal. 

Selain itu, strategi populis yang ditunjukkan cenderung defensif, Jokowi berhasil mempertahankan eksistensi dukungan dalam basis agama Islam dengan menetapkan Ma'ruf Amin sebagai calon Wakil Presiden untuk menghadapi perlawanan dari pasangan calon sebelah. Dalam situasi ketimpangan sosial yang semakin meningkat di kalangan masyarakat bawah, Jokowi telah memperkenalkan beberapa kebijakan publik yang bersifat distributif, terutama dengan meningkatkan akses kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin. 

Sedangkan pasangan calon Prabowo-Sandiaga Uno dominan mengerahkan populisme yang juga melibatkan politik identitas dan sentimen keagamaan walaupun dengan latar belakang yang berbeda. Prabowo-Sandiaga Uno cenderung menampilkan upaya revolusi terhadap kritik kekuasaan Jokowi di periode sebelumnya. Selain itu, Prabowo dengan kekuatan yang cukup besar di dalam aparat negara dan basis sosial, mengungkapkan kebijakan yang meluas hingga kalangan profesional berpenghasilan tinggi perkotaan sebagai agenda untuk mengkonsolidasikan kepentingan oligarki.

Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa praktik populisme dalam Pemilihan Umum tahun 2019 cenderung menangguhkan perbedaan sebagai dasar untuk menggiring opini masyarakat, dimana suara masyarakat bukan lagi sebagai wujud partisipasi, melainkan upaya mobilisasi ke proyek politik tertentu. Kedua pasangan calon memiliki kecenderungan yang menginginkan homogenitas dalam keberagaman di Indonesia. Faktanya, dinamika kampanye pada Pemilu tahun 2019 banyak menimbulkan miskonsepsi yang berujung pada konflik antar pendukung yang mengganggu ketertiban dalam kehidupan bernegara.

Populisme berbasis politik identitas dapat berbahaya ketika masing-masing pihak tidak lagi memandang heterogenitas masyarakat (Ardipandanto, 2020:59). Berbagai bentuk hate speech, black campaign, dan penyebaran berita hoax turut mewarnai ketegangan pasca Pemilu tahun 2019.

Polemik populisme sebagai wujud strategi dalam mempertahankan kekuasaan oligarki melalui kontestasi yang telah menjadi rules of the game praktik demokrasi seringkali menimbulkan berbagai perspektif. Dewasa ini, populisme kerap didefinisikan sebagai strategi politik yang digunakan oleh elit dalam meningkatkan popularitas dan sikap merakyat sebagai upaya mendapatkan simpati untuk meraup suara masyarakat. Kecenderungan populisme dalam menarik perhatian masyarakat sebagai bentuk kontra terhadap pemikiran dan struktur kekuasaan yang mapan dalam posisi elektoral (Hilmy, 2020). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun