Mohon tunggu...
Anindita Dyah Sekarpuri
Anindita Dyah Sekarpuri Mohon Tunggu... Dosen - Perempuan Pembelajar

Widyaiswara dan Pengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru dan Pengajar sebagai BBM (Bahan Bakar Moral)

20 November 2014   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:20 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Euforia kenaikan BBM menjadikan keresahan tersendiri di masyarakat Indonesia.  Tiba-tiba muncul para ekonom dadakan yang bisa menghitung harga minyak mentah di dunia dan membandingkan dengan subsidi pemerintah.  Saya tidak akan membahas mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM) ini karena menyadari ketidakpahaman saya juga mengenai perekonomian dan politik yang melingkupi kenaikan BBM ini, saya sebagai pendidik merasa lebih miris dengan maraknya protes kenaikan BBM ini menjadikan manusia Indonesia seolah-olah semakin menyatakan diri ke pemenuhan level "basic need"  saja.

Manusia Indonesia merasa sangat nyaman dengan subsidi pemerintah yang sebenarnya lebih tepat dialokasikan ke pendidikan dan kesehatan karena sebagaimana pilar kualitas manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) maka hendaknya Indonesia harus lebih cepat mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan kualitas tersebut.  Pembangunan kualitas manusia ini tentunya memerlukan adanya integritas sebagai salah satu unsur yang menyokong berhasilnya suatu program baik dari pemerintah maupun dari masyarakat/swasta.  Telah banyak beredar berita dan contoh nyata di sekitar kita betapa isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang entah karena sudah terlalu sering kita temui sehari-hari menjadikan kita kebas terhadap peristiwa penangkapan dan sidang pelaku KKN tersebut.

Bapak Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan kita, Anies Baswedan telah lama menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar untuk dapat mendobrak mental set di masyarakat bahwa pendidikan berkualitas hanya untuk mereka yang ada di kota dan mampu membayar biaya pendidikan yang makin tidak realistis.  Pertanyaannya adalah apakah benar pendidikan yang berkualitas dan mahal tersebut memang juga berhasil meningkatkan moral generasi muda dan generasi tua? (nah lho...jangan selalu menyalahkan generasi muda...pelakunya sekarang masih para generasi tua...seperti saya ini juga...)

Proses pembentukan moral ini tidaklah instan karena adaya berbagai tahapan yaitu imitasi, internalisasi dalam diri seseorang mengenai berbagai kesepakatan, peraturan, adat istiadat dan tata cara kehidupan yang dipengaruhi juga oleh karakter kepribadian orang tersebut juga. Menengok tren hasil penelitian Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia dari tahun ke tahun dan dari berbagai hasil penelitian lainnya, nampak bahwa masih rendahnya Umur Kawin Pertama (UKP) Indonesia yang disebabkan oleh kehamilan di usia remaja semakin meningkat dan adanya keprihatinan bahwa dengan adanya penolakan di sebagian kalangan masyakat mengenai pendidikan Kesehatan Reproduksi (Kespro) sebagai salah satu upaya pemerintah dan berbagai LSM  untuk mencegah berbagai permasalahan Kespro utamanya bagi remaja.  Penolakan ini salah satunya didasari oleh kekhawatiran (atau ketidaktahuan?) bahwa pendidikan kespro akan mengakibatkan remaja bahkan anak-anak akan mencoba melakukan kegiatan seksual lebih dini, padahal sejatinya dengan adanya benteng pendidikan dan pemahaman akan hak-hak kesehatan reproduksi yang diiringi dengan pendidikan agama dan moral maka akan menjadikan anak dan remaja lebih bisa menjaga dirinya meskipun tidak ada orang dewasa disekitarnya.

Guru dan pengajar sebagai corong utama di dalam pengajaran kelas merupakan penentu apakah suatu materi layak atau tidak disampaikan.   Jika di tingkat sekolah, tidak bisa hanya semata-mata menyalahkan buku ajar dan kurikulum karena memahami beratnya beban Kurikulum 2013 yang menjadikan guru masa kini terkesan lebih baik lebih mengejar target indikator pembelajaran yang mengakibatkan perbedaan pola pengajaran guru jaman dahulu kala (minimal era ketika saya masih kecil dan imut) yang masih menganut falsafah "diGugu lan ditiRu" (Guru) yaitu dipatuhi dan diikuti oleh muridnya karena adanya pendidikan dan pengajaran, yang masuk didalamnya adalah moral.  Meskipun tidak terstruktur dalam silabus, namun pendidikan moral dan penanaman etika yang dimulai dari sejak masuk ke gerbang sekolah dimana guru menyambut muridnya dan murid bersalaman dengan guru akan menimbulkan rasa hormat dan segan (bukan takut) kepada pihak yang lebih di"tua"kan dan hal ini berlanjut di dalam proses pembelajaran sampai dengan selesainya nanti.

Saya tidak akan mempertarungkan guru dengan artis, karena tidaklah "apple to apple" analogi ini.  Bagi saya, para rock star/bintang panggung sesungguhnya adalah para guru serta ini, utamanya mereka yang mengajar tanpa ataupun minim bayaran karena dengan tuntutan kenaikan kebutuhan hidup saat ini, lebih tangguh dan angkat jempol bagi para Bapak/Ibu guru yang mempunyai  dedikasi tinggi dan kepedulian terhadap kondisi moral anak bangsa.  Mari kita pindahkan subsidi minyak kita untuk subsidi BBM (bahan bakar moral) anak bangsa ini melalui kepedulian terhadap para guru dan pengajar Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun