Mohon tunggu...
Anindita Adhiwijayanti
Anindita Adhiwijayanti Mohon Tunggu... profesional -

Bad writer but need and wish to be a great one.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjuangannya Dilaporkan ke Polisi

18 September 2014   23:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:17 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (tribunnews.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi/Kompasiana (tribunnews.com)"][/caption]

Selama 18 tahun menjadi petani, Suhandi, seorang bapak dari enam anak ini merasa gerah terhadap sawahnya yang hanya bisa melakukan panen sekali setahun karena mengandalkan hujan untuk mengairi sawah. Kontras dengan sawah miliknya, dipisahkan Bukit Pasir Cacing yang gundul seluas 1 hektar, Suhandi melihat sawah lain bisa panen dua-tiga kali setahun. Sawah tersebut dilintasi Sungai Cipajaran dan Sungai Cikembang yang tak pernah berhenti mengalir meski pada musim kemarau.

Berniat mengembangkan idenya, pada 1988, Suhandi langsung mengajak warga untuk membantunya membelah bukit yang tinggi sekitar 4 meter. Namun, bukannya berniat membantu, warga justru menertawakan dan menghinanya karena mereka hanya memiliki alat cangkul dan linggis dan Bukit Pasir Cacing dianggap angker.

Suhandi juga hampir tewas tertimbun tanah, namun tak seorang pun menolongnya, meskipun mereka melihat setengah tubuh Suhandi berada di dalam tanah. Warga merasa apa yang dilakukan Suhandi memperkeruh sawah mereka sehingga warga melaporkannya ke polisi. Suhandi tidak gentar terhadap kecaman, ia justru membeli semua tanah seluas 7 hektar tersebut.

Selama 11 tahun, Suhandi dan istri berhasil mewujudkan mimpinya. Seperempat badan tebing berhasil membuat dua saluran air yang panjangnya masing-masing 1.000 meter. Untuk mencegah longsor, Suhandi juga menanamkan pohon mahoni, albasia, dan bambu di tebing tanah sekitar saluran. Kini, Pasir Cacing menjadi salah satu daerah paling hijau di Desa Gunajaya.

Keberadaan air memberikan berkah melimpah kepada sekitarnya, karena kini bisa panen tiga kali dengan hasil rata-rata 5 ton per hektar. Pembuktian ini membuat warga berubah, mereka menjadi hormat dan bersikap baik terhadap Suhandi dan keluarga hingga ia dianggap sebagai sesepuh masyarakat Desa Gunajaya. Warga dari daerah tadah hujan juga mengunjunginya untuk berkonsultasi.

Atas kerja kerasnya, Suhandi menerima berbagai penghargaan, seperti dari Gubernur Jabar, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, juga Pemkab Tasikmalaya. Meskipun kini sudah tua, laki-laki kelahiran tahun 1920 ini, merasa tetap memiliki tenaga untuk menanam lebih banyak pohon produktif dan bambu di sekitar irigasi. Ia juga ingin membuat saluran irigasi menjadi permanen agar meminimalkan luapan air saat hujan deras turun. Suhandi merupakan cerminan dari sosok Mutiara Bangsa BerHasanah, karena kerja keras dan usaha yang tiada pernah usai dalam memberi kebaikan di lingkungannya tanpa kenal rasa takut dan menyerah.

Jika Anda mengenal salah seorang kerabat yang melakukan perbuatan Hasanah dengan sesamanya, seperti Suhandi, silakan daftarkan mereka melalui email priscilla@kraftigadvertising.com atau hubungi kantor cabang BNI Syariah terdekat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun