Mohon tunggu...
Anindya Purnama
Anindya Purnama Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2-Sains Psikologi Unair surabaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Inklusi dan ABK

4 Juli 2014   00:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:35 4530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

SEKOLAH INKLUSI SOLUSI BAGI KUALITAS PENDIDIKAN ABK

Sekolah inklusi sepertinya masih asing terdengar di telinga kita dan masih banyak masyarakat yang belum memahami apa sebenarnya sekolah inklusi? Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan hak bagi setiap warga negara Indonesia dan tak terkecuali bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sebagaiman tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Selama ini, masyarakat luas masih mengenal bahwa pemerintah telah menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat (difabel) yaitu pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Ternyata, secara tidak sadar sistem pendidikan SLB ini telah membangun tembok eksklusifisme bagi difabel yang telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak normal. Akibatnya dalam interaksi sosial kelompok difabel menjadi komunitas yang terisolasi di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel itu sendiri, merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya, pendidikan saat ini mengacu pada konsep pendidikan inklusi.

Asal mula munculnya konsep pendidikan inklusi diawalai dengan adanya kesepakatan Internasional yaitu Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Dalam Konvensi ini, pada pasal 24 disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Demikian pula di negara kita, bahkan kita lebih dahulu mendeklarasikan pendidikan inklusi yaitu dengan diadakannya Deklarasi Bandung “Indonesia menuju Pendidikan Inklusif” tanggal 8-14 Agustus 2004 yang kemudian secara terinci penyelenggaraan pendidikan inklusi ini diatur dalam Permendiknas No. 70 Th.2009.

Sekolah inklusi adalah sekolah reguler tetapi menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. Yang termasuk ABK ini adalah tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tuna daksa, tuna laras (anak dengan gangguan emosi, sosial dan perilaku), tuna ganda, lamban belajar, penyandang autis, dan termasuk pula anak dengan potensi kecerdasan luar biasa (genius) (Blogdetik.com, 16 Juni 2012). Dari pengertian tersebut yang disebut ABK bukan hanya golongan penyandang cacat (difabel) saja tetapi juga termasuk anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, yang tidak terlayani di SLB. Namun dengan keberadaan sekolah inklusi ini bukan berarti meniadakan atau menghilangkan SLB tetapi SLB akan menjadi mitra bagi pengembangan sekolah inklusi.

Adapun tujuan dari pendidikan inklusi ini adalah (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik berkebutuhan khusus. (3) membangun karakter, nilai, dan norma bagi semua peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. (Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Jawa Timur : 2012)

Berdasarkan Permendiknas No. 70 Th. 2009 dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi harus memperhatikan 8 (delapan) komponen yaitu (1) Peserta Didik bahwa sasaran pendidikan sekolah inklusi adalah semua peserta didik baik sebagai anak berkelainan maupun anak ‘normal’. (2) Kurikulum, bahwa kurikulum yang digunakan pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku di sekolah umum, namun untuk siswa ABK dimodifikasi sesuai kebutuhanya. (3) Tenaga Pendidik, yaitu meliputi guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pembimbing khusus (GPK). GPK adalah guru yang tugasnya memberikan layanan khusus, mendampingi dan memberikan bimbingan secara berkesinambungan kepada siswa yang berkelainan selama mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. (4) Kegiatan Pembelajaran, meliputi perncaaan, pelaksanaan, dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam proses belajar mengajar. (5) Penilaian dan sertifikasi, bahwa penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada model pengembangan (modifikasi) kurikulum yang dipergunakan. (6) Manajemen sekolah, bahwa sekolah mempunyai kewenangan untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi semua hal-hal yang berkaitan dengan penyeleggaran pendidikan inklusi di sekolah tersebut. (7) Penghargaan dan sanksi, bahwa penghargaan akan diberikan kepada sekolah yang meraih prestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, dan sebaliknya sanksi akan diberikan kepada sekolah yang dianggap lalai dalam penyelenggaraan pendidikana inklusi. (8) Pemberdayaan masyarakat, bahwa untuk dapat menyelenggarakan pendidikan inklusi yang ideal tidak akan terlaksana tanpa adanya partisipasi dan dukungan dari masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun pelaksanaan pendidikan inklusi telah diatur secara rinci dalam perundang-undangan, tetapi berdasarkan pengamatan yang saya lakukan terhadap salah satu sekolah inklusi di Jawa Timur dalam pelaksanaan pembelajaran maupun interaksi sosial mereka sehari-hari jarang dilakukan secara bersama-sama. Dimana ABK lebih sering berada di kelas khusus bersama guru pendamping dari pada belajar bersama-sama dikelas umum dengan anak normal. Sehingga, dalam lingkungan sekolah inklusi tersebut kurang terdapat interaksi sosial antara ABK dengan anak normal. Padahal suatu sekolah disebut inklusi, jika kita dapat melihat anak secara individual dengan pendekatan individual, bukan klasikal. Untuk itu, saya setuju dengan model penyelenggaraan sekolah inklusi yang tercantum dalam Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Jawa Timur (2012) yaitu :

1.Pembelajaran pendidikan inklusif menerapkan pendekatan model inklusif penuh (full inclusive), dimana peserta didik berkebutuhan khusus bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya dalam kelas yang sama. Peserta didik berkebutuhan khusus harus mendapat layanan dan kesempatana yang sama untuk mengikuti proses pembelajaran sebagai bentuk komitmen pendidikan yang tidak diskriminatif, sesuai dengan kemampuannya.

2.Peserta didik berkebutuhan khusus dapat mengikuti proses pembelajaran secara khusus diruang sumber berdasarkan program pembelajaran individual, termasuk didalamnya adalah program pembelajaran kompensatoris.

3.Keberadaan ruang sumber harus digunakan sebagai tempat pembelajaran individual dan bukan sebagai ruang untuk menempatkan peserta didik berkebutuhan khusus sepanjang waktu.

4.Pendekatan model pembelajaran inklusif penuh diharapkan mampu memberikan peran dan perkembangan secara holistik bagi kemajuan peserta didik berkebutuhan khusus yang meliputi perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosial.

Jadi, sekolah inklusi pada dasarnya merangkul semua siswa dengan berbagai latar belakang dan kondisi dalam satu sistem sekolah dan mencoba untuk menemukan dan mengembangkan potensi siswa yang majemuk tersebut. Pengembangan potensi siswa ini tidak hanya diterapkan kepada siswa ABK saja tetapi juga siswa yang lain yang bukan ABK. Karena pada dasarnya setiap siswa memiliki potensi, namun terkadang pihak sekolah kurang jeli melihat potensi tiap-tiap siswa dan tidak ada progam tertentu untuk dapat mengembangkan potensi setiap siswa. Inilah potret pendidikan kita saat ini yang masih melihat peserta didik dengan satu kaca mata yaitu memandang bahwa semua anak adalah sama. Padahal, setiap anak terlahir dengan fitrahnya masing-masing. Artinya, setiap anak harus diberi ruang dan hak untuk berkembang sesuai dengan kapasitas dan bakat yang dibawanya. Sebagaimana hal ini telah dikemukakan oleh Howard Gardnerdalam multiple intelligences yang menjelaskan bahwa kecerdasan/potensi seseorang tidak bertumpu pada kecerdasan intelektual saja, tetapi ada 8 kecerdasan manusia yang meliputi bahasa (linguistic), musik (musical), logika-matematika (logical-mathematical), spasial (spatial), kinestetis-tubuh (bodily-kinesthetic), intrapersonal, interpersonal, dan naturalis (naturalits).

Padahal pendidikan yang berkembang di negara kita saat ini, pada umumnya masih terlalu fokus pada kecerdasan intelektual saja. Sehingga kecerdasan yang lain kurang begitu ditangani apalagi dikembangkan. Disinilah peran sekolah inklusi yaitu selain merupakan salah satu jawaban bahwa pendidikan tak mengenal diskriminasi dan semua orang berhak untuk mendapatkannya, sekolah inklusi juga merupakan sekolah yang mampu menemukan dan mengembangkan potensi siswa baik ABK ataupun anak reguler sehingga menjadi siswa yang berkualitas dan berkembang sesuai dengan bakat dan potensinya. Kelak, generasi tersebut akan menjadi generasi yang ahli, harmonis dan memberi manfaat bagi diri sendiri, masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, sangatlah perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang sekolah inklusi sehingga masyarakat memperoleh banyak informasi sebagai alternatif pilihan untuk menyekolahkan anaknya terutama yang kebetulan berkebutuhan khusus.


Terima kasih, semoga bermafaat dan majulah terus pendidikan Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun