Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Jadi Guru, Jadilah Pekerja Bangunan, Jilid 2

14 Desember 2019   16:23 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:24 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anis Hidayaytie, dok.pri

Kemarin,  ketika saya menulis curhat sebagai seorang  perempuan yang sedang melakukan sesuatu untuk anaknya,  tak pernah membayangkan akan ada efek terkait tulisan tersebut.  Lega, itu saja yang saya dapatkan,  meski banjir air mata memenuhi pipi enggan berhenti.

Dibaca banyak orang ternyata,  di kolom komentar sampai  ada yang menyangka itu serupa cermin buat dirinya.  Rupanya curhat saya  pernah pula dirasakan  orang lain.  Dukungan dan doa  mengalir bak air bah.  Lagi  lagi saya tergugu.  Merasa tidak sendiri,  menguatkan psikologi saya yang sempat mengkeret. Minder.  

Dari teman-teman guru terutama,  mereka  memberikan  kata - kata menyejukkan.  

" Huhu, syedih bacanya. Ya Allah, ternyata ada yaa, ini dibidang pendidikan, kok tidak mendidik sekali cara bicaranya." Kata saudara  saya juga guru honorer di sebuah sekolah.

Jawaban menghibur diri saya berikan" Saya tidak apa apa.  Itu memang nyatanya.  Logika.  Beda dengan yang percaya barokah jadi guru."

"Iyes, Syemangatt,  banggaaa jadi guru." Demikian dia memberi dukungan.

Bangkit lagi,  tidak lagi menyesali  nasib. Saya syukuri saja semua yang menimpa termasuk duka lara dalam kehidupan saya.  Karena saya masih  meyakini stateman bahwa dengan  bersyukur maka akan ditambahkan nikmat dari sang pencipta.  

Saya punya dua anak laki laki,  bisa menempuh pendidikan. Punya ibu kandung dan emak mertua,  tempat  berbagi  sebagai sesama perempuan. Punya sanak saudara yang tak henti menyayangi, pun kawan-kawan baik yang hangat, baik dari dunia maya  maupun dunia nyata. Mereka adalah harta tak ternilai yang bisa membuat saya tersenyum  setelah  kehilangan separuh nyawa yang  menyesakkan dada.  

Tak satu benda dibawa suami ketika mati dari yang pernah diusahakannya semasa hidup. Hanya kafan saja,  juga iringan doa.  Itulah yang menjadi  keinginan  hidup saya kini.  Bukan kaya harta meski tidak saya pungkiri itu mempengaruhi ritme hidup saya juga pandangan sosial di masyarakat  kita,  tetapi kaya dengan  orang-orang yang menyayangi.  Yang ketika kita menutup mata mereka ikhlas  mendoakan kita.

Saya mendapatkannya kini.  Dunia menulis  membuat saya  terhubung  dengan banyak orang,  passion puluhan tahun lalu tumbuh,  berkembang  lagi. Komunitas bidang literasi tetiba menggiring saya aktif lagi.  Sesuatu  yang tak pernah  saya bayangkan bisa menekuni lagi. Lewat menulis hidup  saya bergairah  kembali.  Meski secara finansial tidak membuat  saya kaya,  tetapi  auranya mampu menyelamatkan kesedihan dan duka.  

Lewat tulisan saya mengabarkan sesuatu,  menuliskan imajinasi,  menorehkan bait menjadi puisi, tentang  banyak hal.  Kerinduan pada yang telah berpulang,  kegiatan berkomunitas,  atau sekedar bercengkerama  dengan WAG,  bukan woman and girl friend pemain liga eropa tapi Whatsapp grup.  Semisal Komalku Raya,  Komunitas Menulis Buku Malang Raya dan Sekitarnya atau grup Project Puisi Berbalas Kompasianer yang disana ada 30 lebih  anggota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun