Kemarin, ketika saya menulis curhat sebagai seorang perempuan yang sedang melakukan sesuatu untuk anaknya, tak pernah membayangkan akan ada efek terkait tulisan tersebut. Lega, itu saja yang saya dapatkan, meski banjir air mata memenuhi pipi enggan berhenti.
Dibaca banyak orang ternyata, di kolom komentar sampai ada yang menyangka itu serupa cermin buat dirinya. Rupanya curhat saya pernah pula dirasakan orang lain. Dukungan dan doa mengalir bak air bah. Lagi lagi saya tergugu. Merasa tidak sendiri, menguatkan psikologi saya yang sempat mengkeret. Minder.
Dari teman-teman guru terutama, mereka memberikan kata - kata menyejukkan.
" Huhu, syedih bacanya. Ya Allah, ternyata ada yaa, ini dibidang pendidikan, kok tidak mendidik sekali cara bicaranya." Kata saudara saya juga guru honorer di sebuah sekolah.
Jawaban menghibur diri saya berikan" Saya tidak apa apa. Itu memang nyatanya. Logika. Beda dengan yang percaya barokah jadi guru."
"Iyes, Syemangatt, banggaaa jadi guru." Demikian dia memberi dukungan.
Bangkit lagi, tidak lagi menyesali nasib. Saya syukuri saja semua yang menimpa termasuk duka lara dalam kehidupan saya. Karena saya masih meyakini stateman bahwa dengan bersyukur maka akan ditambahkan nikmat dari sang pencipta.
Saya punya dua anak laki laki, bisa menempuh pendidikan. Punya ibu kandung dan emak mertua, tempat berbagi sebagai sesama perempuan. Punya sanak saudara yang tak henti menyayangi, pun kawan-kawan baik yang hangat, baik dari dunia maya maupun dunia nyata. Mereka adalah harta tak ternilai yang bisa membuat saya tersenyum setelah kehilangan separuh nyawa yang menyesakkan dada.
Tak satu benda dibawa suami ketika mati dari yang pernah diusahakannya semasa hidup. Hanya kafan saja, juga iringan doa. Itulah yang menjadi keinginan hidup saya kini. Bukan kaya harta meski tidak saya pungkiri itu mempengaruhi ritme hidup saya juga pandangan sosial di masyarakat kita, tetapi kaya dengan orang-orang yang menyayangi. Yang ketika kita menutup mata mereka ikhlas mendoakan kita.
Saya mendapatkannya kini. Dunia menulis membuat saya terhubung dengan banyak orang, passion puluhan tahun lalu tumbuh, berkembang lagi. Komunitas bidang literasi tetiba menggiring saya aktif lagi. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan bisa menekuni lagi. Lewat menulis hidup saya bergairah kembali. Meski secara finansial tidak membuat saya kaya, tetapi auranya mampu menyelamatkan kesedihan dan duka.
Lewat tulisan saya mengabarkan sesuatu, menuliskan imajinasi, menorehkan bait menjadi puisi, tentang banyak hal. Kerinduan pada yang telah berpulang, kegiatan berkomunitas, atau sekedar bercengkerama dengan WAG, bukan woman and girl friend pemain liga eropa tapi Whatsapp grup. Semisal Komalku Raya, Komunitas Menulis Buku Malang Raya dan Sekitarnya atau grup Project Puisi Berbalas Kompasianer yang disana ada 30 lebih anggota.