"Ohh, udah 4bulan..5bulan lagi lahiran. Makanya bilangin sama suamimu cepet bayar utang. " Beliau menjawab.Â
Utang apa? Â Dalam ingatanku Mas Rangga tidak punya hutang pada kakaknya. Aku mengangguk saja. Dan kupancing dengan pertanyaan lagi.Â
"Ohh iya, emang kemarin udah bayar berapa? Â Kalau gak salah dia udah bayar sebagian ya? " Aku memancing kebenaran dari hutang Mas Rangga.Â
"Baru 2,5 juta. Kan sisanya masih 22,5 juta. " Jawabnya.Â
Mendengar itu, otakku mendidih. Hatiku sakit, rasanya aku dibohongi. Hutang sebesar itu dia tak memberitahukannya padaku.Â
Jadi selama ini kedai bakso yang dia buka adalah modal dari Kakaknya. Pantas saja dia sangat nurut pada kakaknya.Â
Jika tidak ada pembantu, Ibu dikirim ke rumahku untuk ku urus. Katanya karna Mas Rangga anak yang tidak berbakti karna dia tidak tinggal bersama Ibu di Bekasi, maka Ibu yang dikirim kesini. Terlebih lagi, Mas Rangga anak yang jarang mengirim uang karna kami hidup cukup pas pasan. Matilah karakter Mas Rangga di mata Kakaknya itu.Â
Aku tak pernah melarang Mas Rangga mengirim uang, dan aku selalu menyuruh Mas Rangga untuk menengok Ibu disana. Tapi Mas Rangga selalu bilang sibuk, tak punya waktu, nanti sajalah, dan alasan lainnya.Â
Sudah kuingatkan jika nanti, Â akan ada pembicaraan bahwa aku yang melarang Mas Rangga berbakti pada Ibunya.Â
Benar saja. Ibu berbicara disini. Bahwa Ibu tidak menyukaiku, baru suka melihatku sejak aku repot mengurusnya.Â
Astagfirullohal'adzim...Â