Mohon tunggu...
Angling Prasodjo
Angling Prasodjo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Angin dan badai itu yang menguatkan akar akar tumbuh menjadi pohon.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rokok dan sepotong Cinta di Usia Senja

26 September 2013   11:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada sedotan pertama, masih belum begitu terasa. Tembakaunya terlalu padat, berat untuk diisap, tak ada kepulan keluar.  Pada isapan kedua, rokok jatuh diambang bibir, sedotan tidak sepenuhnya kuat. Letak duduknya belum menempat. Pada isapan ketiga, asap keluar mengepul pekat. Mengisap tidak terasa berat, agak hambar memang, namun bisa dijadikan tanda kesehatanku sudah mulai pulih. Begitu mulai bisa berjalan, rokok yang kuraih pertama kali.  Selama sakit sebulan lebih, yang kuinginkan lebih banyak rokok. Sebab aku bisa merasakan, merokok itu memang nikmat. Bagi orang yang sudah udzur di sementara kalangan, betapa berartinya soal merokok. Namun sampai kapan aku masih bisa merokok ?

“Mas memilih aku, atau merokok ? kalau memilih aku, tidak boleh merokok. Kalau merokok, lebih baik tidak usah mengenal aku !” Permintannya seperti petir di siang hari bolong. Lama tak pernah bertemu cukup pekak sambarannya. Entah angin apa tiba tiba ia muncul disaat aku sakit.  Setelah menghilang berpuluh tahun, aku bisa berhubungan kembali lewat telpon atau sms. Dulu dia sangat kucintai, cinta pertama. Kuhitung hitung sudah 33 tahun aku tidak lagi bertemu, dan kini dalam usia 60 tahun, waktu yang mulai menggelincir, masih ada kesempatan bertemu. Aneh.

Lebih aneh lagi masih terjadi dialog kadaluwarsa selama dalam pembaringan. Ia malah menyatakan yang sama. Waktu itu ia sebenarnya menaruh hati pula. Cerita apa ini. Setua ini aku masih bisa berbunga bunga laksana ketiban bulan. Diatas pembaringan seolah aku segar kembali, bisa bangkit berlari.

Dia memiliki. Memiliki. Kata kata itu terdengar agak ganjil.  Dari memiliki itu ia memintaku untuk tidak merokok. Di usia lanjut begini ia memiliki aku ? Haha..., aku terbahak. Dan sebaiknya aku tidak lagi merokok ? Lebih lagi terpingkal aku. Dari memiliki berujung pada rokok. Dilarang merokok.

Dia pasti tidak sedang bercanda, tetapi memang aneh, memiliki, menyayangi, dikaitkan dengan rokok. Jadi rokok rupanya setara dengan rasa memiliki. Dia sepertinya belum pernah melihat belahan dunia lain, bahwa ada rasa memiliki yang berujung saling merokok. Laki bini keduanya sama sama merokok. Bahkan adapula hingga pikun terengah engah keduanya masih merokok.

Mungkin dia sudah lupa sewaktu di kampung dulu bertetangga dengan si Sodrun. Ini sebuah cerita ketika usiaku masih remaja. Dalam usia melewati 90 tahun, si Sodrun melintas bertelanjang kaki didepan rumah dengan terengah engah. Nafasnya naik turun dengan berat, sambil mengerang dengan keras, “heh.. heh.. heh...”

“Mbah Sodrun itu mau kemana ?”

“Ah, biasa. Tiap hari ya begitu !” jawab tetangga.

“Mau kemana, dia ?”

“Biasa, cari rokok !” sahut yang lain.

“Kok, kamu biarkan. Kasihlah dia rokok !” pintaku.

Hayahh, orang udah pikun begitu, percuma ! Dikasih rokok ! Hampir tiap hari dikasih rokok ! Kadang dibuang, kadang diacak acak. Biar dikasih sebungkus, entah diapain, tak lama jalan lagi cari rokok,” tegas tetangga.”ada yang bilang suka diumpetin sama bininya,” tambahnya.

“Lho, bininya juga masih merokok ?” tandasku.

“Dua duanya sami mawon, itu !” sahut yang lain dengan ketus.

“Lho, gimana sih, aku itu lho, dirumah tak sediain rokok. Dia kalau gak punya rokok, beraninya sama aku ! Biar udah larut, berani dia gedor aku ! Begitu aja kalau dia gak dikasih yang merah, dia masih jalan kemana mana. Kalau selain yang merah, gak lama udah habis. Apalagi dikasih yang pake filter, percuma ! Cuma satu dua sedotan udah dibuang. Begitu itu mbah Sodrun ! Tapi memang kuat kalau jalan, tak akui !” yang disebelah tak mau kalah berkisah.

“Terus ngapain begitu itu jalan kemana mana ?” tandasku.

“Ya cari rokok !” sahut tetangga serempak.

“Coba ini nanti lho, lihat ! Sebentar lagi pasti kemari !”

Ah, jangan jangan besok aku seperti itu, pikirku. Ketika aku teringat bekas istriku yang kedua, aku agak mikir juga. Mudah mudahan tidak. Perempuan eksekutif itu juga perokok. Tiap kali bertemu, tiap kali melepas kepenatan, yang ditanya selalu rokok, “sudah ada rokok, Mas?”  Begitu juga istriku yang dirumah, setiap hari tak lupa membelikan aku rokok. Kalau aku tak minta pun tetap ia belikan.

Itu dunia lain yang nampaknya tak pernah dilihatnya. Walau begitu, ia ada benarnya. Aku dulu cukup lama terbiasa rokok filter, dan sejak sepuluh tahun, rokok filter tidak lagi terasa. Rokok filter itu bukan lagi rokok. Yang benar, sejatinya rokok adalah kretek. Sepuluh tahun terakhir aku memilih merokok dulu dari pada makan.

***

Kata kata “memiliki” pada usia senja memang tidak mudah dicerna. Seperti  sebuah lelucon di kemarau kering. Setelah aku sembuh mencoba merenungkan kembali. Siapa tahu dalam keadaan sakit, orang seperti aku tidak bisa mencerna akal pikiran secara  jernih. Kesimpulannya bisa saja bertolak belakang. Di kala sudah sembuh, aku segera berlari didepan cermin, untuk memastikan bahwa aku tidak sedang jatuh cinta. Bukan saja cucuku, semut pun bisa benar benar tertawa terkakak kakak.

Sejauh itu tidak jujurkah ia, bila memberikan pengakuan sehebat itu ? Oo, sungguh bukan tidak jujur. Dia tentu jujur, buat apa. Dia, seorang nenek yang sudah tak asing pribadinya, tidak mungkin bersandiwara di rembang petang. Tidak ada satu pun kepentingan yang terkait. Tidak ada alasan, kecuali larangan merokok.

Aku tengah menimang nimang rasa humorku. Bayangan anak pertamanya, bernama Keisha seakan bersanding denganku. Tidak mungkin aku bertandang ke Bangkok. Atau melakukan korespondensi dengannya via email atau chating. Soalnya ini sebuah perkara yang tidak perkara. Tidakkonkrit.

Begitu mesra ia memanggil aku, Om ! dengan sikap canda ia bertanya, “apa benar, Om sekarang masih mencintai Mamah ?” dengan segera aku menyahut, “ya !” jawabku pendek sambil mengangguk. Rupanya dari belakang anakku yang sebaya Keisha menyergap, “lalu apa gunanya kalau bapak sekarang masih mencintai Tante ?” itulah lagak Meida setengah protes.  “ya apalagi, ya sekarang ini ya menjalin persaudaraan !” sahutku dengan tenang. “ah, itu jawaban usang, pak! Balas Meida sontak. “kalau menurutmu bagaimana, Sha ?” aku alihkan ke Keisha. “Om bilang sama mama begitu itu, Om jujur ?” aku tertawa, “ah, kalian ini, bagaimana aku tidak jujur, buat apa ?” Meida tak mau kalah, “tapi lalu bagaimana cara melogikannya sekarang ? kalau bapak sayang sama Tante, terus mau apa ?” sengaja aku diam menunggu giliran Keisha berikutnya.

“Kalau Om sayang Mamah, mestinya Om juga dengarkan Mamah.”

“Tentu, Keisha !”

“Untuk tidak merokok, Om! Itu yang paling logik sebagai bentuk perhatian ! pungkas Keisha meyakinkan. “dalam kondisi berjauhan, tidak ada yang Om bisa perbuat. Om di Jakarta, sedang Mamah di Bali. Main telpon, sms, main chating, lama lama juga jenuh.” Aku hanya bisa tertawa mendengar celoteh Keisha.

Lalu kulirik Meida, “coba itu Meida, apa kata Keisha, dengerin !”

“Memang bener aku akui, betul kata Keisha. Masalahnya aku tidak bisa menghentikan rokok. Kalau kurang jelas buat kalian berdua, jadi sebenarnya aku tidak bikin apa apa. Tidak berubah apa apa, tidak kurang apa apa. Dan tidak bertambah apa apa!”

Ternyata asap masih saja mengepul disekitarku disaat bayangan Keisha dan Meida menghilang.

***

Semakin lama gigi menghitam tidak meredakan kecanduan rokok. Lelaki kurus ceking itu tidak lagi merasa penting menjaga penampilannya ditengah banyak orang. Ia sudah udzur dari keramaian. Itulah aku. Seperti itu pula aku hari ini selagi terkaget kaget mendadak harus bepergian ke Surabaya. Ia memberi kabar hendak ke Surabaya, kebetulan ada adiknya yang harus ditengoknya karena sakit.

Waktu aku bertemu dengannya, diantara bahan omongan yang setumpuk, soal rokok tak lupa disinggungnya pula. Sikap dan cara bicaranya masih seperti dulu, disiplin dan keras.

“Kenapa itu rokoknya, apa gak bisa berhenti ?”

“Kayaknya tidak,” jawabku lunak.

“Kenapa ? apa susahnya ? Apa tidak sayang dengan badan sendiri ? Penampilan Mas pun jadi kusut begitu. Tidak bisa segar segagah dulu, bikin aku bangga !”  Ia mendorong terus.

“Ade yang terlambat bilang. Aku merokok kan hampir 40 tahun. “

“Demi kebaikan tak ada kata terlambat !”

“Andai Ade dekat, andai dulu segera ketemu, apalagi menjadi milik Ade, tentu tidak merokok.”

“Jauh dekat tak ada bedanya, yang penting bagaimana hatinya. Sekarang juga Ade ikut memiliki Mas . Bukankah Ade juga suka sama Mas sejak dulu, walaupun baru sekarang mas tahu ?”

“Itulah artinya sekarang bagi Ade. Kalau Mas sudah lama memiliki Ade sejak dulu ketika Mas sudah merokok. Bagi Mas sekarang dan dulu sama saja, toh ? Sama sama, memiliki dan merokok.” Ujarku sambil menaruh rasa humor.

“Ade juga sudah dari dulu memiliki Mas, hanya saja tidak tahu kalau Mas merokok. Sudahlah Mas, hentikanlah merokok,” ia merajuk, lalu, “Mas katanya sayang sama Ade. Kalau sayang gak usah merokok, lah. Mas milih memiliki Ade atau milih merokok ?”

“Sudah bertahun tahun tidak bertemu, sekarang ketemu main ancam, ya !?” sahutku sembari tertawa.

“Tidak mengancam.  Hanya demi kebaikan, mas.  Lagipula dari dulu tidak ada orang yang merokok didekatku.” Tandasnya.

“Kalau Ade dekat, Mas tentu tidak merokok .”

“Maksudnya ? Ya mana mungkin ? Kita kan, punya keluarga !”

“Jadi tak mungkin, kan ?” balasku.

“Ah, Mas ini.” Jeritnya terdesak.

“Sekarang begini. Mas milih memiliki Ade atau rokok ?” ucapan itu lagi yang keluar dari bibirnya.  Nadanya makin nampak serius. Baginya rokok bukan sebagai barang ancaman kecanduan, tetapi yang penting, “ikuti aku”, kira kira itu maunya.

“Ah, Ade ini tidak logis. Bukan aku yang bilang. Dengerin tuh, apa kata Keisha sama Meida !”

“Jadi mas memang lebih berat ke rokok,” potongnya. “apa kata Keisha sama Meida ?”

“Kata mereka, memiliki dirimu itu tidak riel, karena kita saling berjauhan. Orang yang punya ikatan perkawinan saja bisa putus gara gara berpisah bertahun tahun. Apalagi kita. Memiliki akan menemukan makna bila sering berdekatan, bisa menyentuh menyalurkan kasih sayang, bisa bercengkerama seperti sekarang ini ketemu, syukur sering. Bisa mendampingi, memperhatikan memandangi, mengantar, memelihara, merawat dan menemani. Menurut saya mereka benar. Ade bilang memiliki, tapi tidak ada maknanya, ya apa artinya ?”

“Mas sendiri bilang katanya memiliki, apa itu artinya ?”

“Ya memang tak ada artinya bagi Ade. Memiliki disitu hanya buat diriku sendiri, bukan untuk siapa siapa termasuk Ade.”

“Sudah, sudah ! Mas memang lebih berat merokok dari pada punya Ade !”

“Kok, pendek begitu mikirnya ?”

“Sudahlah ! Mas sekarang kembali aja, ikut flight pertama ke Jakarta, saya ke Nuki sendiri !” Ade beranjak berkemas tanpa peduli.

“Eh, dengerin dulu ! Gak boleh begitu.”

“Mau apalagi, sudahlah !” ia meronta.

“Iya, iya, dengerin dulu sebentar !” pintaku sambil mendekat.

“Ya ! Mau apalagi ?” ketusnya sambil menampakkan dadanya.

“Ya, okelah. Aku cuma mau bilang untuk Ade inget. Seorang istri boleh mengajukan talak cerai kepada suami, apabila dalam tempo tiga bulan berturut turut seorang suami tidak memberi nafkah lahir dan batin. Itu hukumnya,” ujarku sebagai pemungkas. ***

Bekasi, 26 Sep. 13

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun