Mohon tunggu...
Angling Prasodjo
Angling Prasodjo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Angin dan badai itu yang menguatkan akar akar tumbuh menjadi pohon.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rokok dan sepotong Cinta II

30 September 2013   02:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:12 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sedikit gontai aku melangkah meninggalkan pertemuan yang tak selesai itu. Di  ruangan terbuka banyak waktu tersisa untuk menimang nimang benakku. Udara bebas mendorong sebatang rokok mengepul seperti asap knalpot membuntuti pikiran kemana pergi.

Ada kekecewaan melihat keadaan ade sekarang. Ia nampak begitu keras, tidak seperti yang diharapkan. Ade mestinya nampak ayu dan bahagia, itu doaku dari dulu kalau toh menjadi milik orang lain. Guratan kekerasan yang tergaris di air mukanya menunjukkan ia tidak bahagia. Ia lebih memilih bersikap keras untuk mengatasi hidupnya yang tidak bahagia. Ada yang ia lupa. Dunia hanya akan menjadikan diri menjadi keras bila dunia dihadapi dengan keras. Hidup tertib, disiplin dan bekerja keras sudah lama menjadi andalannya.

Lagipula, apa maksudnya, mengapa aku mengatakan soal hukum fiqih tentang talak, sementara dia tidak tahu menahu soal itu karena dia orang Kristen. Jangan jangan itu sebuah pertanda persoalan rumah tangganya sudah setingkat itu. Jadi kalau begitu memang benar, untuk menegaskan, hidupnya tidak bahagia.

Tanpa aku minta bekas istriku melintas dalam pikiranku. Entah bagaimana ia sekarang. Namanya seorang istri meskipun istri kedua, dia tetap memiliki kedalaman dalam hidup. Kebetulan memiliki huruf depan sama. Ade dan Aeda, bukan aida. Apakah ada sebuah hubungan, aku tidak tahu. Keduanya, bahkan ketiganya termasuk istriku aku panggil adik. Bagaimanapun aku jujur pada diriku sendiri tanpa harus orang bertanya, berdasarkan fakta, yang paling memberikan makna cinta adalah Ade, meskipun aku tak pernah berpacaran dengannya. Tetapi yang memberikan keserasian termasuk kerjasama dan harmonisasi adalah Aeda. Istriku tentu lebih dari segalanya, karena dia memberikan anak dan jerih payah membangun sebuah keluarga.

Terhadap Aeda aku tak pernah memberikan apa apa kecuali rokok. Aeda termasuk perokok berat. Sebelum berjumpa denganku goncangan hidupnya memang cukup berat. Dalam perkawinan dini, suaminya meninggal tiba tiba secara tragis. Sudah barang tentu ia terpukul, itu yang membuatnya banyak mengenal rokok.

Kebahagiaannya sering kali mudah terlihat selagi merokok berdua. Dia sudah sampai pada tingkat seakan ingin mengatakan yang penting ada rokok. Siang dan malam. Paling tidak, mampu bertahan 5 tahun, dengan satu kesamaan, jarang berbincang tanpa merokok. Jarang sekali memulai hari tanpa merokok sebelum sarapan.

Sempat terungkap pengakuannya disaat pulang dari kondangan, “kalau besok kawin sama orang lain, adik bisa selingkuh sama mas,” ujarnya setengah berbisik diatas pundakku. Pengakuan itu tak pernah kuduga. Tidak juga membuat hilang kepercayaan. Atau timbul curiga, kalau begitu ia pun bisa selingkuh sama orang lain sekarang ini. Sama sekali tidak. Meski tidak tiap hari menunggui, aku cukup percaya dengannya. Meski mau dimadu, biniku bukan perempuan murah. Ia minta cerai bukan karena tidak punya rumah, mobil, tetapi lebih karena tidak yakin dengan masa depan orang yang dimadu.

Ketika aku sudah terbiasa terkungkung dengan dunia kesendirian, siang itu aku keluar dari sarang untuk menemuinya. Sebuah hotel baru berbintang empat menjadi tanggung jawabnya yang baru. Sejak jalan tol Cipularang rampung, ke Bandung bisa ditempuh 1,5 jam lebih cepat, aku justru jarang ke Bandung lagi. Tak lama aku sudah bersamanya, berdua bertarung memainkan asap rokok di udara. Dalam suasana ceria dan akrab. Berdua sama sama menunjukkan saling kehilangan meski hanya semburat tipis tanpa berterus terang. Usai berbasa basi mengenai anak anak, anaknya dengan suaminya pertama dan anak anakku dengan istriku, ia masih berkenan mengadu.

“Dia memenuhi kreteria yang adik cari.” katanya. “Dia seorang duda beranak satu. Jadi sama, kan, kayak adik, janda beranak satu, anaknya sama sama laki laki lagi ! “ lalu sambungnya, “sudah lama dia memperhatikan adik, bahkan sejak kuliah dia sudah perhatiin, tetapi terakhir karena ada mas, dia tidak mendekat. Tak lama lagi dia melamar !”

Aeda menyambut gembira dengan yang dialami. Memang tidak pernah diungkapkan soal usianya 35 tahun menjadi alasan segera mengambil keputusan tepat. Status laki laki duda itu lebih penting dari pada persoalan cinta. Bisa saja ia merasa sudah tidak saatnya mementingkan soal cinta. Tidak tahu aku, itu realistis apa pragmatis. Aeda ingin membangun rumah tangga normal, membesarkan anak anaknya.

Aku sempat menggodanya, “adik kayaknya ingin buktikan pendirian adik ?” Rokoknya masih yang itu juga, rokok kertas, diisapnya dengan kuat sebelum berujar, “adik tidak tahu. Mungkin itu doa adik selama ini. Biarlah siapa pun dia, yang penting bukan suami orang. Mas sekarang kelihatan kurus,” selanya dengan masih mencoba memperhatikan. ‘halahh, dengan suami orang adik juga mau !’ godaku. Aeda tidak membalas, matanya saja mengerling kearahku sambil melempar senyum. Keduanya sudah sangat mafhum bagaimana hubungan keduanya terjadi. “itu hanya mas, kan ?” sambil bercanda. “ya ya, aku mengakui,” aku mengangguk setuju.

“adik bener bener bisa menerima dia seperti itu ? sergahku dengan serius.

“gak apa apa, akan kuhadapi karena dia sudah mengatakannya ! tegasnya lunak.

Mungkin kekurangannya karena ia perempuan perokok. Tetapi aku memang dibuatnya kaget ketika laki laki itu ternyata seorang peminum, narkoba dan main perempuan. Bahkan ia pun menyadari ketika niat baiknya dimanfaatkan laki laki marketing itu.

Menurut ukuranku hal itu tidak ringan. Dia berani menghadapi kondisi seburuk itu. Orang akan bilang dia perempuan bermental baja, atau sebaliknya, hanya perempuan gila yang berani nekat seperti itu.

Ia cukup tegar bahkan menyaksikan sendiri, kebobrokan laki laki calon suaminya didepan matanya. Aku tidak habis pikir, dan banyak orang tidak percaya.

Ia tipe perempuan yang serius dalam bekerja. Hari itu telpon berdering seperti biasa. Bukan dari client, bahkan suara itu makin lama makin dikenalnya. Dari ujung sana, terdengar suara laki laki yang akan mengawininya.

“Dimana ini ?” ada suara gaduh Aeda langsung menodong.

“Ada, aku ini lagi tugas, besok, besok, ya nanti aku kembali.”

“Kenapa itu mesti ramai begitu ?”

“Oh, oh tidak, apa itu, ini ada yang menggoda.” Terdengar ucapan kacau dari orang tengah mabuk.

“Kamu sekarang lagi mabuk begitu, masih ada yang menggoda lagi, dimana ini ?”

“Dikamar !” terdengar suara perempuan menyela berteriak dari belakang. Derai tawa terdengar cukup keras, sengaja menggoda.

“Diurus dulu itu bekas istrimu, atau siapalah, ya !? Nanti aja telpon saya lagi !” handphone diletakkan kembali. Dia tidak pernah menjadi panas.

“Begitulah, mas,” kisahnya kepadaku.

“Apa maksud orang itu ? aku mencoba memperjelas.

“Adik tidak tahu pasti. Dia masih punya urusan dengan perempuan lain. Dan ada beberapa.”

“Rumah seperti apa yang ingin adik bangun ?” justru aku yang mulai kesal.

“Membangun ? Kayaknya berlebihan, mas..., tidak membangun. Adik hanya ingin tempat bernaung, tempat seorang suami pulang dan adik menungguinya disitu.” Betapa sederhana pikirannya. Tempat bernaung ? Aku jadi tersengat dengan istilah itu. Sepertinya aku tak bisa memberikan tempat bernaung.

“Dengan kondisi seperti itu ? Bisa memang ?”

“Dia serius. Dia bilang dia berencana melamar dan bilang ingin berumah tangga baik baik.”

“Tetapi siapa perempuan itu? Apa bekas istrinya dulu ?

“Kelihatannya begitu, tapi ada juga perempuan lain selain itu. Kayaknya mainannya.”

Aeda tidak mundur, ia bersikukuh laki laki itu akan mengawininya. Tetapi persoalan seolah pindah kepadaku. Ada dua perempuan disisi orang itu, dan ada dua orang disisiku. Semua bermuara ke Aeda. Dibawah sadarku, nampaknya perlu sebuah perbandingan. Agak tersinggung aku, seolah dibanding bandingkan. Tidak terima aku. Dibawah sadar aku ternyata masih bertindak seakan aku pelindungnya.

“Adik sudah hidup baik baik dengan mas, minta pisah ! Giliran sekarang seperti itu, kayak mau terima aja, pasrah ! Memang adik maunya gimana, sih ? “

“Lhoo, kok mas mikirnya seperti itu. Itu tidak ada hubungannya !”

“Atau adik ingin menguji mas dengan cerita seperti itu ?”

“Tidak juga. Kalau mau sama mas, sekarang juga adik bisa kembali ke mas, adik percaya mas masih mau terima.”

“Enak sekali adik mikirnya. Ya begitu memang! Semua ini kan, adik yang bikin gara gara !”

“Eh, mas, mas kan paham soal agama..., kalau misalnya adik kembali ke mas lagi gimana prosedurnya ?” Aku tidak langsung menjawab, dari rasa gusar yang tersisa aku harus mengatakan untuk mengingatkannya.

“Dik, cobalah dengerin,’ pintaku. “dulu sewaktu adik sama almarhum, dia memang seorang peminum dan saya percaya dan setuju kalau adik mampu menyadarkan dia hingga menjadi suami yang baik. Tapi kalau sudah peminum, pecandu narkoba apalagi masih main perempuan, apa adik mampu membawanya menjadi orang baik kembali ? Cobalah, baru soal rokok aja, adik sendiri belum tentu bisa menghentikan.” Ucapanku agak bijak. Kulihat dia agak terpekur.

“Hanya Tuhan yang tahu,” ujarnya.

“Begitulah menurutku, paling tidak.”

“Yang tadi kan, belum dijawab,” dengan dingin ia mengalihkan pembicaraan.

“Apaan, sih !? Apa apaan itu ?”

“Gak apa apa, adik kan hanya tanya, adik belum tahu, dan itu kan cuma misal aja !”

‘Kalau orang bercerai hingga talak tiga, artinya kawin cerai dengan pasangan sama sebanyak tiga kali, maka setelah masa idah tiga bulan, adik harus menikah dulu dengan orang lain. Adik boleh nikah lagi dengan mas, setelah cerai dengan orang itu.” Ia diam sedikit melamun, hukum fiqih dalam pengertiannya.

“Ya ya. Tapi adik tidak ngetes mas, lho, tidak begitu.” Aeda tidak meneruskan ucapannya. Aku dianggap sudah cukup paham apa maunya.

“Memang adik benar benar bisa membangun rumah tangga dengan laki laki separah itu ? Apa adik yakin bisa, seperti pengalaman adik dengan suami pertama, atau adik ingin bilang sama orang kalau adik hero, jagoan ? Itu terlalu mahal, dik !”

“Tidak begitu, mas !” jawabnya dengan tenang.

“Jadi ?”

“Kita lihat saja nanti, sampai dimana,” ujarnya dengan pasti.

Selebihnya adalah rahasianya, rahasia seorang perempuan soal tetek bengek yang bagi laki laki sering tidak begitu penting. Aku tidak mau memasuki lorong hatinya lebih jauh.

Dari sikapnya aku masih percaya Aeda belum berhubungan bebas dengan orang itu selama penantian. Kucermati benar ucapannya, cara dia mengucapkan, kelugasan dan gelagatnya. Dari mata batin cukup nampak Aeda bukan perempuan seperti itu. Meskipun laki laki brengsek itu bisa melacur, tapi Aeda memang ingin menjadi orang baik, berumah tangga seperti umumnya dengan baik. Kuakui, bagaimana pun Aeda masih dibawah pengawasanku.

Dari ungkapannya itu tidak terbersit maksud untuk mengharap belas kasih dariku. Atau lebih jauh ingin kembali lagi pun tidak. Selama tiga kali pertemuan, pun tidak ada setan menyertaiku untuk memanfaatkan hubungan yang tersisa itu. Dengan isapan rokok begitu luwes, ia lebih bersikap sebagai seorang adik dihadapan kakaknya. Pernah aku mencoba mendorongnya, dengan halus ditolaknya, ditempat umum ada orang banyak, katanya. Masih dipercaya. Tidak ada perselingkuhan.

***

Pada pertemuan yang terakhir.

“Jadi sekarang sudah siap siap menyambut lamaran ?”

“Sudah ! Semua sudah dipersiapkan. Sudahlah, mas. Biarlah siapa pun dia, adik akan terima,” sahutnya tanpa ragu.

“Tidak berpikir orang lain ?” aku memancingnya.

“Yang tidak ada tak perlu dipikirkan. Kebanyakan yang ada seperti mas, suami orang lain !”

Dia terdiam, meniup asap rokok keatas. Aku pun dibuat diam, sebagai suami orang, membuat aku beralih ke pikiran lebih jauh.

Apa dunia ini memang aneh. Satu dunia dengan begitu banyak manusia yang pikirannya berbeda beda. Seekstrim itu cara berpikirnya seorang perempuan ? Nalar agama maupun nalar positif, tidak menjamin seseorang mau mengikuti. Sebagai seorang haji, secara fisik aku menawarkan kondisi yang jauh lebih baik tetapi semua itu ditolaknya. Bila terpaksa akan kukatakan bahwa meski dia istri kedua, dia istri sah, kuhargai dia bukan sebagai istri kedua, melainkan sederajad dengan istri pertama. Istilah pertama dan kedua, hanyalah kata orang, untuk memudahkan pembicaraan. Itulah konsep keadilan, keadilan rohani dan martabat, paling tidak pengertian menurut diriku sendiri. Terdengar subyektif, tetapi bisa dicamkan.

Namun ternyata. Semua yang sudah kutawarkan itu ditolaknya. Dengan gigihnya, tanpa alasan yang prinsip, dia memaksaku menjatuhkan talak ke tiga. Bukan karena alasan adanya pihak ketiga, sama sekali tidak. Aku membawanya kedalam kehidupan agamis sehari hari. Tetapi kenyataannya tidak cukup. Hanya karena tuntutan idealistik sepele, ingin bisa tinggal serumah. Tidak ada apa apa sebenarnya, kecuali, kecuali hanya satu yang aku sendiri sesungguhnya tidak bisa, yakni tidak menungguinya setiap hari. Aku di Jakarta dan Aeda berada di Bandung. Idealisme pendek ? Rupanya, pilihan itu adalah kenyataan yang lain.

Diam diam aku membuat catatan berdasarkan logika dan nilai nilai spiritual, bahwa bangunan yang didirikan diatas pondasi yang rapuh, biasanya tidak bertahan lama. Dibuat dari bahan pondasi yang kurang berkualitas, bahkan berkadar rendah. Mestinya, pasir pasir dan besi yang baik itu diikat dengan semen yang belum terkontaminasi agar berdiri pondasi yang kokoh.

Aku tidak berdoa apa apa dan tidak berharap apa apa.

Sejak melangsungkan perkawinan, dia tidak bisa dihubungi lagi.

***

September-30

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun