Mohon tunggu...
Anggi Saeful Majid
Anggi Saeful Majid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa administrasi publik di universitas islam negeri sunan gunung djati, yang mana saya merupakan salah satu mahasiswa yang memang hobi menulis. Saya berasal dari keluarga yang berlatar belakang petani, kehidupan yang sederhana telah membuat saya tumbuh menjadi orang yang selalu bersyukur disetiap keadaan. Adapun Moto hidup saya "Gebyarkan minatmu, tekuni hobimu dan jangan lupakan kewajibanmu".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Menerapkan Sistem Jalan Berbayar (ERP) Apakah Dapat Mengatasi Permasalahan yang Ada?

7 Maret 2023   09:28 Diperbarui: 7 Maret 2023   09:49 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jakarta, oh Jakarta terkenal apalagi kalau bukan macetnya, Ibu Kota negara Indonesia  ini berada di posisi ke 46 dari 404 kota termacet di dunia. Untuk mengurangi kemacetan yang  terjadi di Ibu kota ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya telah melakukan sejumlah  berbagai upaya, seperti pelaksanaan kebijakan ganjil genap, pembangunan MRT, hingga  pembangunan jembatan layang, namun sayang sederet solusi yang dikeluarkan oleh  pemerintah itu masih belum cukup, akhirnya kini pemprov DKI Jakarta pun kembali  melakukan terobosan terbarunya, yang tak lain penerapan Electronic Road Pricing (ERP).  

Electronic Road Pricing (ERP) adalah sistem jalan berbayar secara elektronik diruas ruas jalan padat dengan tarif progresif dengan demikian pengguna kendara pribadi memiliki  dua pilihan yakni melanjutkan perjalanan dengan membayar tarif atau mencari jalur lain.  Harapan pemprov DKI Jakarta ini, supaya kemacetan dapat terurai sehingga mampu  menurunkan gas emisi rumah kaca, berbicara mengenai kebijakan ide ERP ini sudah ada sejak  kepemimpinan Sutiyoso pada tahun 2004, tetapi wacana ini sampai akhir tahun 2022  terbengkalai juga, sampai pada tahun 2023 gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memilih  untuk melanjutkan proyek yang terpendam belasan tahun ini, yang mana masalah ini hingga  sekarang masih dibahas di DPRD DKI Jakarta. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengusulkan  tarif jalan berbayar ini mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 19.000 yang mana dalam penerapan tarif  ini memang akan disesuaikan dengan panjang ruas jalan dan kategori kendaraan yang melintas.  Namun tidak semua kendaraan yang melintas dijalan yang mennerapkan ERP ini dikenakan  tarif. 

Memang kehadiran dari adanya kebijakan ERP ini dengan adanya subsidi pemerintah  untuk memperbaiki layanan, dalam sisi lain masyarakat tetap menggunakan kendaraan pribadi akhirnya terjadinya pemborosan, susbsidi pemerintah itu tujuannya agar masyarakat dalam  bermobilitas gunakan layanan angkatan umum sehingga mobilitas mereka lebih efisien. Efisien  ini ditinjau dari 2 hal pertama dari sisi waktu, mereka ada kepastian berapa lama menaiki Trans  Jakarta, dan juga adanya MRT,LRT, belum adanya KRL Jabodetabek yang nantinya melayani  dari hiterline-nya DKI Jakarta. Tidak alasan lagi bagi masyarakat buat menggunakan layanan  angkutan umum untuk mengurangi kemacetan. Dan juga jika kebijakan ERP ini disetujui oleh  DPRD DKI Jakarta aka nada 2 pilihan bagi masyarakat yaitu, jika masyarakat menggunakan  angkutan layanan umum tentunya tarifnya akan murah, tetapi jika menggunakan kendaraan  pribadi tentunya akan ada kompensasi untuk masalah pembayaran ERP tersebut, dari sini  pembiayaan kebijakan ERP ini akan dikembalikan untuk peningkatan layanan.

Opini saya membiacarakan perihal kebijakan ini, tentunya aka nada dua sisi, seharusnya  kebijakan ini tidak perlu secepatnya untuk dilakukan karena, melihat dari aspek ekonomi  masyarakat saat ini dalam keadaan sedang ingin bangkit, ini tidak sinkron pemerintah yang  memajaki penduduk dibangun oleh pajak dari penduduk juga, penduduk yang sama dipajaki  ini merupakan beban bagi rakyat. Kebijakan ini dirasa kurang tepat untuk diterpakan sekarang,  karena melihat guru minta gajinya dinaikan pun tidak bisa, masa ini mengeluarkan beban pajak  saja bisa. Seharusnya ini merupakan jalan terakhir dari layanan transportasi yang telah dinilai  secara optimal dalam artian belum mampu bisa mengatasi kemacetan tersebut.  

Tentunya layanan transportasi ini dirasa belum optimal, tetapi pemerintah pemprov ini  mau mengeluarkan kebijakan baru lagi, lebih baiknya memperbaiki dan meningkatkan kualitas  layanan transportasi. Kini angka penambahan kendaraan semakin meningkat sedangkan ruas  jalan sedikit dan semakin dipersempit. Tetapi dengan hal kebijakan ini tentunya akan ada pihak  yang di untungkan siapakah dia, apakaha pihak yang diutungkannya yaitu perusahaan atau  tender dalam perihal masalah ini. Apakah memang tidak ada langkah yang lebih efisien dan  lebih kreatif lagi, jangan sampai harus terus membebankan masyarakat.  

Dirasa kemacetan di Jakarta ini kebanyakan warga yang bekerja, bagaimana jika  diterapkannya WFH Work From Home atau kerja dirumah, dengan pergantian jam kerja dan  sebagainya. Jika memang tetap kebijakan ini dilanjutkan dengan tarif bayar harga dikisaran Rp  5.000 sampai Rp 19.000 tentunya 60% penegendara akan tetap melakukan pembayaran karena  memang masih dirasa cukup murah bandingkan saja dengan kebijakan ganjil genap tetap saja  masih terjadinya kemacetan dan juga masih banyak para pengendara yang bissa mengelabuinya  dengan menggunakan plat nomor kendaraan yang palasu.  

Solusi untuk kebijakan ini, memang terlebih dahulu harus meningkatkan pelayanan  transportasi umum yang baik, jumlah kendaraan yang banyak, jika tetap saja masyarakat  memang benar-benar tidak mau untuk menggunakan layanan angkutan umum, maka kembali  naikan saja tarif ERP tersebut mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 500.000 logikanya saja dengan  harga tarif sebesar ini akan mengurangi para pengendara untuk menggunakan kendaraannya  melewati jalan yang yang dikenakan ERP tersebut, dengan kebijakan ini memang dirasa akan  sedikit menambah pengguna layanan angkutan umum. Sembari menerpakannya kebijakan ini  tentunya pemerintah jangan hanya tinggal diam saja, tetapi harus kembali menambah  pembuatan jalan supaya dapat mengurangi kemacetan akibat kurangnya jalan. Jangan jadikan  kebijakan jalan berbayar sebagai acuan untuk menghindari kemacetan. 

Lebih baiknya cari lagi jalan alternatif lain untuk diterapkan kepada masyarakat supaya  memang benar-benar tidak membebankan masyarakat, sebagaimana Polda Metro Jaya yang  memberikan solusi penerapan WFH, itu hanya untuk menggoordinasikan saja pihak DISHUB  kepada perusahaan yang terkait. 

Peningkatan kembali kualitas layanan transportasi publik yang  menjadikan masyarakat bisa mau menggunakan layanan umum. Karena kembali lagi posisi  ekonomi masyarakat sekarang sedang lemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Presiden RI,  artinya pemerintah DKI Jakarta ini mengatakan sebaliknya, karena tidak baik-baik saja kita  harus membantu masyarakat untuk memperkuat daya belinya, menaikan angka berbayar ini  akan menekan daya beli dan ini tidak sehat untuk ekonomi. 

Jadi ini agak aneh yang dilakukan  oleh Pemerintah DKI Jakarta jadi adanya kontrapublik dengan pemerintah pusat yang mana  sudah terjadi relaksasi dimana saja. Mengatasi kemacetan dengan ERP ini dirasa sangat  sederhana dan simpel untuk menghindari kemacetan, buat saja tarifnya hingga 1 juta, tidak ada  lagi kemacetan itu logikanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun