Mohon tunggu...
Anggi RezaHasanah
Anggi RezaHasanah Mohon Tunggu... Lainnya - Anggi Reza Hasanah

Mahasiswa UIN RADEN INTAN LAMPUNG

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mempertegas Karakter Industri Keuangan Syariah di Tengah COVID-19

13 Mei 2020   16:32 Diperbarui: 13 Mei 2020   16:48 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Efek tersebut berdampak pada sektor riil yaitu penawaran terhadap tenaga kerja menjadi terganggu, karena banyak penduduk yang sakit, suplai barang dan jasa pun menjadi kacau, serta system keuangan pun otomatis terusik. Sistem keuangan pun otomatis terusik. Banyak bisnis tidak beroperasi meningkatkan gagal bayar pembiayaan bank. Investor pasar modal terbang ke aset yang lebih aman (flight to safety). Entah emas atau surat berharga Amerika Serikat. Nilai tukar sekarat dan cadangan devisa terkuras.


Pertama, perlu dipahami bahwa krisis Covid-19 dapat menghantam setiap negara dengan kadar yang sama. Pada krisis keuangan global, negara pusat keuangan Syariah seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah tidak memiliki konektivitas produk keuangan yang tinggi dengan Amerika Serikat. Jadi efek krisisnya lebih rendah. Namun kali ini, efek negatif ke perekonomian negara-negara episentrum industri keuangan Syariah bisa jadi lebih tinggi karena sistem kesehatan publik mereka yang relatif lemah.


Dari 57 negara Organisasi Konferensi Islam (OIC) hanya Oman (8) yang berada di 25 besar sistem kesehatan publik terbaik WHO. Indonesia sendiri berada di peringkat 92, di antara Lebanon (91) dan Iran (93). Dengan asumsi tingkat keparahan wabah yang sama, beban mayoritas negara OIC untuk mengatasi wabah Covid-19 lebih berat. 

Ruang fiskal dan moneter untuk intervensi stimulus ekonomi pun terbatas. Konsekuensinya, proses recovery industri syariah mungkin akan lebih lambat. Kedua, pariwisata halal adalah primadona baru industri Syariah di tengah kebutuhan negara-negara produsen minyak mendiversifikasi ekonomi mereka. Indonesia juga salah satu yang gencar mempromosikan pariwisata halal. Tetapi justru industri ini lah yang paling terkena imbas pandemi Covid-19.


Covid-19 juga memengaruhi seluruh lini produk perbankan dari pembiayaan standar konsumsi hingga perdagangan derivatif. Secara global bahkan perbankan syariah saat ini berada dalam posisi kurang menguntungkan. Perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia membuat "surplus" yang ditempatkan di perbankan syariah semakin kecil. Telah menjadi rahasia umum bahwa petrodollar adalah bagian tak terpisahakan dari kelahiran perbankan Syariah.


Namun sebenarnya industry syariah dapat saja memanfaatkan keadaan ini yaitu tidak hanya menampilkan label halalnya saja, tetapi juga dengan tegas membangun sebuah karakter yang dibangun atas empat pilar yang sebelumnya sudah ada yaitu pemenuhan hukum Tuhan (legal), kebutuhan diri (self-interest), kesejahteraan sosial (social-interest), dan kesinambungan lingkungan (ecological-interest). Tetapi pembangunan industri "halal" seringkali hanya berfokus pada pilar pertama dan melupakan kesetimbangan tiga pilar yang lain. Masa krisis adalah waktu yang paling tepat untuk memunculkan karakter di atas, karena di momen ini lah manusia menunjukan sifat aslinya.


Sebuah realita di Inggris Raya dapat menjadi contoh sederhana. Hand sanitizer dan masker adalah dua produk yang sangat langka di masa pandemi Covid-19, sebagaimana juga terjadi di negara lain. Suatu waktu di kota tempat saya tinggal, Durham, saya menelusuri beberapa supermarket untuk mencari produk tersebut. Durham terkenal dengan sebutan kota pensiunan. Selain mahasiswa sebagian besar penduduknya telah berusia lanjut. Beberapa kali saya menyaksikan kesedihan dan kekecewaan para penduduk senior karena tidak mendapatkan barang yang mereka cari. 

Padahal untuk berjalan saja mereka kepayahan. Mereka pun masuk kategori yang paling rentan dalam wabah Covid-19. Masyarakat Inggris Raya dengan histori panjang peradabannya yang glamor pun tak sanggup menahan panic buying. Demi memproteksi diri sendiri dari serangan wabah Covid-19. Lebih parah lagi, banyak pemilik modal yang melakukan price gouging. Meningkatkan harga barang yang sangat dibutuhkan di waktu bencana atau krisis. Hand sanitizer yang biasa dibanderol tidak lebih dari 1 poundsterling (Rp 18.000), kini ini meroket 3.000 persen menjadi 30 poundsterling (Rp 540.000). 

Sementara di bagian Inggris Raya yang lain, sebuah toko kelontong di Scotland membagikan paket berisi hand sanitizer, hand wash, dan masker kepada para pensiunan di komunitas sekitar secara gratis. Asiyah and Jawad Javed mengorbankan uang 2.000 poundsterling (Rp 36 juta) yang seyogianya akan mereka gunakan untuk liburan di musim panas (self-interest) untuk komunitas mereka (social and ecological-interest). 

Walaupun pandemi Covid-19 lebih sistemik dan multi dimensi dibandingkan krisis keuangan 2008, industri syariah masih berpeluang mengaplikasikan petuah Jenderal Sun Tzu. Musibah ini dapat menjadi momentum pembuktian kedua, bahwa ekonomi syariah dapat menghadirkan keadilan dalam berekonomi melalui keseimbangan antara legal, self-interest, social-interest, dan ecological-interest. Momen ini tepat untuk menunjukan empat karakter yang membedakan ekonomi Syariah dengan selainnya tersebut. Sebagaimana Denis Leary katakan, "crisis doesn't create character; it reveals it."

Nama                : Anggi Reza Hasanah            
NPM                  : 1851030114
Kelas                 : D Akuntansi Syariah
Mata Kuliah   : Manajemen Keuangan Syariah
Dosen                : Dr. Muhammad Iqbal Fasa, M. E.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun