Mohon tunggu...
Anggi Nofinta Dwi Woro
Anggi Nofinta Dwi Woro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Every day I become a better person. Not for anyone, but for myself.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Perilaku Self-Diagnose terhadap Kesehatan Mental Remaja

28 September 2021   17:55 Diperbarui: 28 September 2021   17:57 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Salah satu fase perkembangan individu ialah fase remaja. Di Indonesia sendiri, Batasan remaja sama dengan batasan yang dibuat oleh PBB yaitu dalam usia 15 hingga 24 tahun. Menurut data Susenas pada tahun 2018, Indonesia sendiri memiliki sekitar 63, 82 juta jiwa pemuda atau berarti sekitar 25% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. 

Masa remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perkembangan yang pesat dari aspek biologik, psikologik, dan juga sosialnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya berbagai disharmonisasi yang membutuhkan penyeimbangan sehingga remaja dapat mencapai taraf perkembangan psikososial yang matang sesuai dengan tingkat usianya (Sarwono, 2011).

Fase perkembangan usia remaja terkait dengan kesehatan mental. Dimana dalam hal ini, kondisi kesehatan mental memiliki keterkaitan erat dengan kondisi lingkungan, pola asuh orang tua, hingga bagaimana individu menghadapi sekitarnya. Ketika kesehatan mental mengalami ketidak stabilan, maka saat itulah dapat disebut seseorang mengalami gangguan mental atau mental illness. Apabila membahas terkait kesehatan mental, maka memiliki keterkaitan erat dengan diagnosis kesehatan mental. 

Pada dasarnya, terdapat pihak-pihak yang dianggap professional dan betul-betul memahami ruang lingkup dalam ilmu sosial yang memiliki kewenangan dalam hal ini. Serta, pada dasarnya, individu membutuhkan pernyataan dari individu professional tersebut untuk melakukan diagnosis dari kondisi kesehatan mentalnya. Di zaman modern ini, individu dipermudah dengan adanya kemajuan teknologi yang mengurangi batas ruang dan waktu, sehingga memperoleh akses berbagai informasi termasuk mengenai kesehatan mental (Ahmed dan Stephen, 2017).

Hal ini merujuk pada salah satu fenomena yang kian meluas, yakni fenomena self-diagnose pada remaja. Self-diagnose merujuk pada definisi diagnosis diri terhadap dirinya sendiri hanya berdasarkan hal yang ia dapatkan, bukan dari pernyataan langsung dari individu yang professional (dalam hal ini psikologi atau psikiater). Self-diagnose dapat bermula dari pemberian label dan stigma yang muncul. Perilaku self-diagnose pada remaja dianggap berbahaya dan beresiko dalam kondisi mental dan membangun stigma yang kian buruk di masyarakat. 

Selain itu, di usia remaja yang cenderung mengalami gejolak dalam diri, melakukan self-diagnose dapat memperparah kondisi psikologis individu tersebut. Terdapat beberapa dampak bahaya dari self-diagnose, diantaranya kesalahan diagnosis yang berbahaya karena satu dua kesamaan gejala terhadap suatu gangguan bukan bearati dapat langsung disimpulkan; Salah penanganan dan tidak memberikan kebermanfaatan bagi gangguan yang dialami oleh individu tersebut atau orang-orang di sekitarnya; 

Ketika seseorang melakukan self-diagnose, secara tanpa sadar orang tersebut memberikan labeling terhadap dirinya sendiri dan bisa saja label yang ia sematkan pada dirinya salah dan memperparah kondisi yang dialami; Memunculkan kepanikan yang tidak berdasarkan sumber yang jelas; Memunculkan sikap tidak peduli karena cenderung meremehkan gejala yang ia diagnosis itu sendiri dan tidak mengetahui diagnosis sebenarnya dari ahli konseling; Menjalankan treatment dan tes yang tidak valid dan tidak tepat dalam pendekatan penanganan masalah kesehatan mental (Pasman, 2011).

Fenomena self-diagnose juga timbul karena adanya stigma yang buruk terkait gangguan kesehatan mental merupakan individu yang mengalami kegilaan serta menganggap bahwa mengunjungi tenaga professional merupakan hal yang tabu dan memalukan. Hal ini perlu didukung oleh lingkungan yang tepat, agar remaja mampu tumbuh dan mengembangkan diri dengan tepat dan mengenali kondisi diri sendiri. 

Ketika mulai merasa ada sesuatu yang salah mengenai diri sendiri, maka sebaiknya untuk segara melakukan konsultasi dengan pihak profesional. Karena dengan begitu, kemungkinan salah diagnosa dapat dihindari, tingkatan gangguan yang dialami pun dapat di analisis secara tepat. Sehingga penanganan yang diberikan dapat memberi manfaat dan memperbaiki keadaan mental remaja.

Daftar Pustaka

Ahmed, A., & Stephen, S. (2017). Self-Diagnosis in Psychology Students. The International Journal of Indian Psychology, 120-139.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun