Laki-laki itu mengeluarkan sebuah album berwarna hitam. Lalu satu persatu lembaran itu dibukanya. Pemandangan alam pedesaan nan menawan. Kabut, bibit-bibit, sungai kecil, tumpukan palawija yang habis dipanen dan beberapa view hutan di lereng gunung.
"Kami tinggal di lereng Merapi, di kawasan Kaliurang," ujarnya.
"Indah sekali, sebuah maha karya yang luar biasa," pujiku.
Lalu kubuka kembali foto-foto di dalam album itu. Aku lihat dengan seksama satu persatu. Benar-benar serasa telah berada di kawasan pertanian di Jogja. Bahkan tak kusangka aku telah mengabaikan laki-laki yang sedang berada di depanku ini.
"Bagaimana?"
"Sangat indah, Rik."
"Setiap pagi aku ikut Darto ke ladang. Membersihkan rumput, menggemburkan tanah, menabur benih dan menyiraminya dengan air dari sungai kecil yang melintas diantara ladang-ladang itu. Aku terhanyut, Zan."
"Ya, alam pedesaan membuat kita lupa dengan segala permasalahan rumit kehidupan ini, sebuah harta yang tak bisa ditukar dengan uang."
"Kamu tahu, aku sangat membenci masa lalu, aku selalu ingin melupakan masa lalu, tetapi kenapa ya aku tak bisa, masa lalu seperti terus mengikutiku, seperti bayangan badanku sendiri."
"Begitulah adanya, masa lalu terenda rapi dengan diri dan jiwa setiap manusia, kemanapun dia pergi, masa lalu akan selalu mengikuti," tukasku.
"Kau tahu bahwa ada sesuatu yang aku pelajari di Jogja?"