Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aborsi

11 Januari 2018   15:18 Diperbarui: 11 Januari 2018   15:21 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tetapi orang tua lebih peduli untuk menyelamatkan malu mereka. Daripada memiliki anak perempuan yang bunting sebelum menikah, lebih baik bayi tak berdosa itu direlakan. Toh ketika dia lahir, tak akan ada yang dengan ikhlas merawatnya, hanya akan mencemarkan nama baik keluarga dan akan kesulitan melegalkannya.

Pilihan lain adalah menikahkan pasangan itu, mungkinkah? Apakah yang akan dilakukan pasangan yang tidak lulus sekolah dan berumah tangga dalam kondisi menganggur. Hanya akan menjadi beban keluarga yang tiada habisnya. Hanya karena kesalahan kecil, kebebasan seks yang tiada batas, akhirnya mereka harus menjalani kehidupan berat yang mencerabut masa depannya.

"Kenapa tidak dinikahkan saja?" tanyaku.

"Nggak mungkin deh Zan, pacarnya anak punk yang sampai sekarang juga tidak ketahuan dimana keberadaannya. Anak-anak punk hidup di mana saja, tidak mau terikat dengan aturan sosial yang ada, setelah kejadian, dia tak mau bertanggungjawab."

"Wah dilema juga ya."

"Kakakku sendiri tak mau menanggung semua masalah ini, kalau aku tak mengingat masa kecil Dira yang begitu lucu dan cantik, dan dia keponakan kesayanganku, pasti aku tak mau mengantarkan dia ke sini, aku berharap masa depannya masih bisa diselamatkan dengan cara seperti ini," ujar Rosi.

Tak beberapa lama Kak Febby datang. Perempuan cantik itu datang sendirian tanpa ditemani suaminya. Setelah berbasa-basi sebentar, Kak Febby mengajak kami berdua ke klinik. Mungkin saja aborsi Dira puterinya sudah selesai. Kami berdiri dan berjalan bertiga menuju klinik yang berada di tengah perkampungan padat penduduk itu.

*

Aborsi telah usai. Nadira terbaring lemah di tempat tidur. Matanya menerawang ke langit-langiit kamar seadanya klinik itu. Aku, Rosi dan Febby, mengelilinginya tanpa bisa berbuat apa-apa. Febby berlinangan air mata. Rosi sama saja, hidungnya sudah merah karena menahan tangis. Aku memandangi mereka dengan peraasaan tak menentu.

Di klinik inilah para pendosa itu menyelamatkan diri mereka dengan dosa pula. Dan sekarang anak gadis yang masih belia itu terbujur beku melawan kematian. Saat sedu sedan, saat ibu gadis itu memegangi telapak tangannya yang kuyu, bau anyir darah memenuhi ruangan. Pendarahan lagi. Dira pendarahan lagi.

Rosi segera memanggil para medis dan dua orang perawat tanpa seragam segera mengurus Dira yang bersimbah darah di bagian bawah pantatnya. Setelah itu, Dira pingsan, mungkin karena menahan rasa sakit, atau karena kekuarangan darah. Kak Febby menangis terisak-isak sambil menggerak-gerakkan tubuh puterinya. Rosi diam menutupi wajahnya dengan sapu tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun