Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Sasaran, Sekolah Gratis untuk Siapa?

3 Februari 2017   14:27 Diperbarui: 4 Februari 2017   09:33 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sekolah negeri memang masih sangat diminati. Sekolah-sekolah yang punya tradisi dan prestasi mumpuni juga banyak mengantarkan siswanya ke sekolah atau kampus-kampus unggulan di jenjang selanjutnya akan semakin diburu. Seleksinya padat, siswa yang masuk tak bisa sembarangan. Prasyarat untuk masuk ke sekolah ini begitu tinggi.

Siapa yang berhasil masuk ke sekolah-sekolah negeri unggulan tersebut? Tentu calon siswa yang siap. Siswa jenis apa yang siap? yang kemampuan akademiknya mumpuni, yang lulus tes masuk. Kenapa kemampuan akademiknya mumpuni. Mereka punya akses yang baik terhadap beragam sarana pembelajaran, fasilitas memadai, dan dukungan yang penuh dari orang tua. Pertanyaan selanjutnya? Dari kalangan mana mereka berasal? Kebanyakan mereka adalah anak-anak kelas menengah atas.

Adakah anak-anak dari kalangan miskin mampu mengakses sekolah tersebut? Ada. Mayoritas atau minoritas? Saya tak bisa menjawab secara detil. Ini membutuhkan data yang yang akurat. Tapi dari informasi yang saya dapat dari rekan-rekan guru, kebanyakan yang masuk ke sekolah-sekolah unggulan tersebut berada dari kalangan mampu.

Mengapa kalangan mampu lebih siap? Karena budaya sekolah tersebut lebih sesuai dengan habitus mereka. Mereka disiapkan oleh orangtua untuk mampu memasuki sekolah-sekolah unggulan. Sekolah di mana mereka harus siap berprestasi, serius belajar, fokus pada pencapaian akademik dan tak memikirkan problem lain. Mereka tak harus memikirkan transportasi, uang jajan, biaya les dan bimbel. Intinya belajar dan belajar, karena persaingan begitu kompetitif. Jika tidak bekerja keras, mereka akan tergilas.

Orangtua dari kalangan menengah atas begitu siap mendukung anaknya, demi meraih prestasi. Ambisi orangtua kadang lebih besar dari ambisi anak-anaknya. Anak-anak dalam pandangan mereka (mungkin) adalah komoditas yang harus terus diasah. Niatannya baik. Agar mereka mampu bersaing di era global. Segala amunisi dibekali, karena mereka memang mampu. Buku-buku bagus, alat tulis bagus, jadwal les yang padat, bimbingan belajar di beberapa tempat. Semua dapat dilakukan. Demi mendapatkan sekolah-sekolah atau kampus-kampus terbaik semua usaha tersebut dioptimalkan.

Cara mudah untuk melihat apakah memang sekolah-sekolah negeri unggulan (khusus di Jakarta) lebih banyak dimasuki oleh kelas menengah atas adalah dengan melakukan observasi singkat. Cobalah, setiap pagi atau sore kita datang ke sekolah-sekolah tersebut.  Jika pagi-pagi, sekitar pukul 06.00 sd pukul 06.30 atau sore-sore sekitar pukul 15.00-15.30 anda melihat ke sekolah-sekolah negeri unggulan di DKI, maka akan ada antrian mobil-mobil, dari yang biasa saja sampai yang mewah membanjiri sekitaran sekolah. Sekitar sekolah akan sangat macet. Apalagi banyak sekolah negeri yang tak memiliki area parkir yang memadai.

Jika itu sekolah swasta bonafide, yang uang masuk puluhan juta dan bayaran perbulannya jutaan rupiah, mungkin saja kondisi tersebut bisa dipahami. Tapi jika yang dibanjiri adalah sekolah negeri yang gratis tentu akan menjadi pertanyaan.

Dibanding masuk sekolah swasta yang mahal, ternyata orangtua dari kalangan menengah atas memilih memasukan anaknya ke sekolah negeri unggulan. Toh prestise tetap terjaga, jaminan masuk ke sekolah atau kampus unggulan jelas sangat terbuka. Jadi tak masalah memasukan anak-anak mereka ke sekolah negeri. Akhirnya banyak orangtua yang memasukan anak-anaknya ke sekolah negeri. Gratis tapi berkualitas.

Adilkah? Tentu tak adil. Sementara yang miskin semakin terpinggirkan karena keterbatasan mereka. Yang kayalah yang menikmati pendidikan berkualitas di sekolah-sekolah unggulan tersebut. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu akhirnya diterima di sekolah-sekolah swasta.

Mereka bahkan tak mampu mengakses sekolah negeri yang gratis itu. Sejak awal, mereka memang sudah sulit bersaing dengan anak-anak kelas menengah atas yang memiliki amunisi yang sudah lebih maju dibanding mereka dalam mempersiapkan diri memasuki sekolah-sekolah unggulan tersebut.

Di sekolah swasta mereka harus membayar lebih mahal. Mereka terlempar ke sekolah-sekolah swasta. Itu pun dengan keterbatasan, mereka tak bisa memilih sekolah swasta mana yang bisa menjadi tempat menuntut ilmu. Sekolah-sekolah swasta yang mereka pilih, kadang, buruk fasilitasnya dan tak optimal pembelajarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun