Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mereka yang Termarjinalkan...

31 Mei 2016   21:57 Diperbarui: 1 Juni 2016   10:18 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Warga makan siang di rumahnya yang berdiri di tepi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Menjadi orang yang termarjinalkan, miskin, dan terpinggirkan tentu bukan pilihan bagi siapa pun. Kita pasti menginginkan bahagia, hidup dalam berkecukupan, dan terlindungi. Siapa yang ingin tanahnya diambil alih oleh orang yang lebih berkuasa? Kesulitan mencari penghidupan yang layak, dan kesulitan mengakses pendidikan? Tak ada yang mau hidup seperti itu.

Namun, ternyata tak semua orang menikmati hidup yang bercukupan, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer, sandang, papan, pangan. Mereka tak dapat bekerja secara reguler dan menunggu ada orang lain yang membutuhkan. Bekerja serabutan sana-sini untuk sekedar meenuhi kebutuhan harian. Menunggu panggilan dari orang yang mau mempekerjakan. Tidak ada panggilan, berarti mereka tak bisa makan, atau harus berhutang agar bisa makan.

Tak mungkin terlontar dari mereka, mau makan di mana kita? Mau makan apa kita? Ada film baru apa? Apa yang jadi trending topic di media sosial? Atau bincang-bincang apakah Rangga kembali menjalin kisah kasih dengan Cinta? Berdebat apakah akan ada sekuel AADC 3, atau berdiskusi sambing ngopi-ngopi cantik di beragam kafe. Kata-kata tersebut tentu jauh dari ungkapan kata keseharian mereka. Apa yang ada di hadapan mereka, itu yang bisa mereka makan. Mereka berpikir dan bertindak praktis.

Mereka juga tak bisa memilih tinggal di mana. Ketika tidak mampu membeli rumah, juga tak bisa mengontrak, mereka harus ikhlas tinggal di tempat-tempat yang seharusnya tak ditinggali. Dianggap ilegal, liar, dan sewaktu-waktu bisa digusur atas nama pembangunan. Ada juga beberapa kasus, mereka terusir dari tanah yang sudah ditinggali oleh leluhurnya secara turun-menurun. Mereka terusir dari tanah adat mereka, apa pun alasannya. Mereka harus memperjuangkan tanah yang sesungguhnya merupakan tanah leluhurnya. Perjuangan panjang yang melelahkan.

Apakah tak ada kebahagiaan? Kita tentu tidak bisa menilai mereka bahagia atau tidak. Kebahagiaan tak selalu bisa diukur lewat beragam indikator material. Namun, yang jelas mereka akan selalu terpinggirkan. Hak-hak mereka sebagai warga negara seringkali terabaikan. Karena mereka seringkali dianggap sebagai pengganggu ketertiban. Mereka terhimpit. Karena mendapat kerja semakin sulit. Beberapa nekat melakukan tindakan kriminalitas, atas nama bertahan hidup. Toh itu dianggap lebih praktis. Yang penting, nyali dan keberanian. Syukur-syukur aman, tak tertangkap pihak berwajib, operasi terus jalan.

Ketika akses terhadap pendidikan, pekerjaan, maupun kesehatan dihambat, kualitas kehidupan mereka pun jauh dari kata layak. Bayangkan ibu yang mengandung. Jangankan mendapatkan kualitas gizi yang baik bagi janinnya, makanan saja tak bisa memilih. Masih beruntung jika mereka mendapatkan makanan pada hari itu.

Mereka kesulitan juga mengakses ke fasilitas kesehatan, karena seringkali mereka minder dengan posisi mereka yang terpinggirkan tersebut. Anak yang dilahirkan pun tak mendapatkan suplai makanan yang bergizi. Ketika mulai bersekolah, ada beberapa hambatan, mulai dari adminstratif sampai konteks lingkungan sosial yang cenderung meminggirkan mereka. Ketika mereka tidak mendapat pendidikan secara optimal, mereka akan lebih sulit mengakses pekerjaan.

Dan lingkaran tersebut mencengkeram mereka. Seringkali mereka tak mampu melarikan diri dari cengkeraman tersebut. Pada akhirnya kemiskinan, kesulitan-kesulitan hidup tersebut diwariskan ke anak-anak mereka, juga cucu-cucu mereka. Dan mereka akan terus begitu, hingga bergenerasi.

Kita juga seringkali tidak peduli atau juga pura-pura tak tahu. Seolah-olah problem tersebut tak pernah ada. Karena kita (mungkin saya), seringkali, merasa bahwa kesulitan hidup keseharian yang juga kita alami sudah berat. Jangankan memikirkan orang lain, diri sendiri pun sudah berat menghadapi kehidupan.

Begitu banyak orang-orang yang ada di sekitar kita tidak beruntung. Kita terjebak pada cap, mereka malas bekerja, tak mau memanfaatkan potensi yang ada pada dalam diri mereka. Pikiran tersebut tentu bukan pikiran yang adil.

Perjumpaan saya dengan beberapa orang beberapa hari ini kembali mengganggu pikiran saya. Apa yang bisa saya kontribusikan bagi mereka yang jauh dari beragam akses yang sudah seharusnya menjadi hak mereka? Saya begitu terkesan dengan individu-individu tangguh yang terus berjuang untuk memperjuangkan mereka yang terpinggirkan, termarjinalkan. Membela karena pilihan-pilihan ideologis, karena sesuatu yang dianggap benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun