Mohon tunggu...
Angga Rahmandita
Angga Rahmandita Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa di Jakarta

Lebih keras dari hidup

Selanjutnya

Tutup

Bola

Sepak Bola Indonesiaku

24 Juni 2019   00:51 Diperbarui: 24 Juni 2019   07:20 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://www.hipwee.com/

Mendengar tentang sepakbola pasti hampir semua orang mengenal bahkan memainkannya. Ya, sepakbola seolah menjadi magnet tersendiri untuk kalangan luas, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Hampir semua elemen masyarakat menyukai sepakbola, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, semua menyukainya. Harusnya, dengan animo masyarakat yang seperti itu diseimbangi dengan beragam prestasi yang didapatkan dari sepakbola. Namun yang terjadi tidak demikian, sepakbola Indonesia seolah sulit sekali mendapatkan prestasi. Bahkan, untuk level Asia Tenggara saja masih sulit berbicara.

Berbicara soal minimnya prestasi sepakbola di Indonesia karena beberapa faktor, terutama yang paling  "menggemaskan" adalah federasi sepakbola itu sendiri yaitu PSSI. Federasi sepakbola tercinta kita ini seolah mau tidak mau dalam menjalankan roda persepakbolaan tanah air. Ya, meskipun bisa dibilang proses merupakan sebuah langkah untuk kemajuan tapi masyarakat Indonesia seolah sudah muak dengan embel-embel "proses" yang sering dikemukakan oleh PSSI.

Masyarakat sudah menunggu terlalu lama untuk melihat bahkan merasakan prestasi untuk persepakbolaan Indonesia. Belakangan ini timnas sepakbola muda kita bisa menyabet prestasi, ya memang. Tetapi bukan cuma soal prestasi saja yang diharapkan oleh masyarakat, melainkan pembinaan jangka panjang terhadap hasil yang telah dicapai tersebut. Masyarakat menginginkan bahwa proses pembinaan di usia muda sampai jenjang senior itu dilakukan dengan efektif, bukannya setelah berada di jenjang senior malah melempem performanya. Kita ambil contoh Timnas U-19 racikan Indra Sjafri pada tahun 2013 lalu, pada saat itu Timnas U-19 bisa menjuarai piala AFF U-19 (Kompetisi Federasi Asia Tenggara) setelah di Final mengalahkan Vietnam melalu drama adu pinalti dan kebetulan juga saat itu Indonesia menjadi tuan rumah ajang 2 tahunan tersebut

 Setelah Timnas U-19 menjuarai piala AFF, eksepktasi masyarakat Indonesia semakin meledak setelah Timnas yang terkenal dengan pola permainan 'Tiki-taka' ala Indra Sjafri ini mampu mengalahkan salah satu raksasa Asia pada kualifikasi piala Asia U-20, yaitu Korea Selatan dengan skor 3-2 . Bahkan, selama fase kualifikasi Timnas u-19 mampu menjadi juara grup dan lolos otomatis ke putaran final Piala Asia u-20. Namun, animo masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap Timnas U-19 seolah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Setelah Timnas U-19 populer diadakanlah Tour nusantara dan ini menjadi awal mula porak-porandanya pondasi yang telah dibangun oleh Coach Indra Sjafri tersebut. Ya, setelah rangkaian Tour nusantara bahkan sampai Tour nusantara jilid 2 saat itu, Timnas U-19 hancur lebur pada putaran final Piala Asia U-20. Pada fase grup Timnas U-19 tersingkir dan memupuskan harapan publik sepakbola tanah Air untuk melihat Timnas berlaga di Piala Dunia U-21.

Berlandaskan kejadian tadi, saya menyimpulkan bahwa oknum-oknum di Federasi tercinta kita ini memanfaatkan popularitas Timnas untuk keperluan pribadi, golongan dan lain-lain. Miris bukan? Ya seperti itulah yang terjadi pada kenyataannya, setelah itu semuanya seakan menjadi hancur, prestasi yang diharapkan oleh publik tanah Air seakan sulit diraih kembali. 

Selain faktor tadi, sepakbola di Indonesia juga di 'gerogoti' oleh sejumlah 'mafia'. Seperti kita ketahui semua, sepanjang 2017-2018 kemarin terkuak skandal pengaturan skor sepakbola Indonesia yang melibatkan petinggi PSSI didalamnya, semakin miris bukan? Petinggi federasi yang seharusnya bertujuan membenahi dan memaksimalkan kinerjanya untuk prestasi sepak bola Indonesia malah berbuat seperti itu. Bahkan, yang paling membuat sakit hati publik sepakbola tanah Air adalah terkuaknya kasus pengaturan skor pada saat Final Piala AFF 2010 yang mempertemukan Indonesia melawan Malaysia.

Pada saat itu, Timnas senior Indonesia bermain nyaris sempurna. Pada fase grup bahkan mampu melumat lawan-lawannya, pertama Malaysia digasak 5-1, kemudian Laos 6-0 dan yang terakhir Timnas berhasil menumbangkan rivalnya di Asia Tenggara, yaitu Thailand dengan skor kedudukan akhir 2-1 untuk kemenangan Indonesia. Pada saat itu, Timnas Indonesia yang menjadi tuan rumah berhasil menjadi juara grup dengan point sempurna, yaitu 9 point dan otomatis mengantarkan Indonesia melaju ke semifinal dan berhadapan dengan Filipina yang pada saat itu mulai 'memanen' pemain naturalisasinya.

Keberhasilan Indonesia melaju hingga semifinal dirasa masih belum cukup untuk membahagiakan publik sepakbola tanah Air, pada pertandingan semifinal yang dilaksanakan dengan sistem home-away, Indonesia berhasil mengalahkan Filipina masing-masing dengan skor 1-0. Berbekal keunggulan aggregate 2-0, Timnas Indonesia berhasil melaju ke Final dan menghadapi Malaysia yang di lain waktu menyingkirkan Vietnam.

Harapan pecinta sepakbola tanah Air semakin tinggi dan seolah impian akan menjadi kenyataan, ya membawa pulang trofi paling bergengsi di Asia Tenggara ke tanah Air untuk pertama kalinya. Namun, yang terjadi dilapangan tidak demikian, pertandingan Final digelar dengan sistem home-away dan Indonesia kebetulan lebih dulu melawat ke Malaysia. Harapan publik seolah sirna setelah Indonesia di 'lumat' Malaysia dengan skor akhir 3-0 untuk keunggulan Malaysia.

Pada pertandingan Final, Indonesia yang biasanya mempertontonkan permainan yang energik seolah tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya berdiam diri menyaksikan para pemain Malaysia merayakan gol ke gawang Indonesia. Usut punya usut, setelah hampir 9 tahun akhirnya pertandingan final Piala AFF 2010 tersebut ternyata telah di 'setting' oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ya, setelah Kepolisian Republik Indonesia membentuk satgas anti-mafia bola pada 2018 lalu banyak sekali kasus terkuak dan muncul ke permukaan.

Pada kasus piala AFF 2010 ternyata ada beberapa pemain Timnas Indonesia bahkan jajaran pelatih yang di 'suap' untuk mengalah pada pertandingan Final yang berkesudahan aggregate 4-2 untuk keunggulan Malaysia (Indonesia menang 2-1 pada pertandingan leg ke 2) Miris bukan? Harga diri bangsa seolah diperjual-belikan. Terkuaknya kasus ini membuat publik sepakbola tanah Air merasa dikhianati dan sakit hati, Indonesia yang saat itu diharapkan mampu menjuarai Piala AFF justru malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum Federasi tercinta.

Pada 2018,  banyak sekali kasus pengaturan skor yang terkuak, mulai dari kompetisi kasta terbawah hingga kasta tertinggi. Pada tahun ini (2018) pula muncul istilah 'Liga settingan', 'Liga dagelan' dan beragam istilah sesuai versi supporter masing-masing Tim. Hal itu memang bukan istilah semata, karena pada realitanya memang terjadi demikian, banyak pertandingan yang sudah diatur untuk memberikan keuntungan secara pribadi. Semakin miris bukan? Kalau mau ditelaah lebih jauh, pengaturan skor atau istilah 'Liga settingan' tidak hanya berlaku untuk 2017 atau 2018, akan tetapi sejak dahulu dan baru terungkap akhir-akhir ini. Akibat munculnya skandal pengaturan skor membuat sepakbola Indonesia seolah kehilangan 'esensi'nya, dan yang paling terkena imbasnya adalah juara Liga 1 pada tahun 2017 dan 2018 yaitu, Bhayangkara FC dan Persija Jakarta. Publik tanah Air seolah tergiring opininya bahwa kedua klub tersebut adalah kunci dari permasalahan skandal ini.

Publik beranggapan bahwa 'yang berkuasa yang menang', mengapa demikian? Patut diketahui bersama bahwa kepemilikan Persija Jakarta dipegang oleh Joko Driyono yang notabenenya merupakan petinggi PSSI. Hal itu semakin diperparah dengan ditangkapnya Joko Driyono dan dijadikan tersangka. Di lain sisi, Bhayangkara FC yang merupakan klub hasil merger PS Polri & Persebaya 1927 pun tidak luput dari mata publik, mungkin yang paling menonjol adalah kemenangan 'gratis' yang diberikan oleh operator Liga saat itu. Pada saat itu, Bhayangkara FC dan Bali United merupakan kandidat terkuat untuk menjadi Juara Liga 1 2017.

Bali United yang menajadi pemuncak klasemen unggul 3 point terhadap Bhayangkara FC yang menempati posisi ke 2, dan Bali seolah selangkah lagi untuk menjadi juara. Namun, pada pertandingan Mitra Kukar melawan Bhayangkara FC yang sejatinya berkesudahan dengan skor akhir 1-1 kemudian dirubah statusnya menjadi kemenangan untuk Bhayangkara FC dengan status Walk Out, usut punya usut ternyata setelah dipaparkan klarifikasinya Mitra Kukae pada pertandingan itu memainkan pemain yang seharusnya tidak dapat dimainkan karena akumulasi kartu. Namun hal ini tetap saja membuat miris publik dewata (Bali), karena seharusnya jika ada pemain yang tidak dapat dimainkan pada laga itu diberi peringatan atau teguran pada saat itu juga (saat pertandingan berlangsung), tetapi yang terjadi tidak demikian.

Status pertandingan baru dirubah setelah pertandingan digelar beberapa hari kemudian, hal ini lah yang membuat posisi Bhayangkara FC seakan diuntungkan dan dengan kemenangan 'gratis' tersebut membuat Bhayanglkara FC berhasil memimpin klasemen Liga 1 2017 dan kemudian berhasil menjadi juara Liga 1 2017. Selain kedua klub yang seolah menjadi "korban" tadi ternyata banyak klub-klub lain yang terlibat dalam kasus pengaturan skor, hampir semua klub besar terlibat skandal ini. Miris bukan? Karena hal ini pula sepakbola Indonesia seolah kehilangan esensinya.

Harusnya daripada publik mengaitkan para tersangka dengan klub yang memiliki hubungan dengannya, lebih baik publik membuktikan keterkaitan para tersangka dengan klub yang menurut publik terindikasi ada mafianya. Daripada saling  tuduh lebih baik bersatu dan suarakan kebenaran bukan?.

Kemudian faktor terakhir adalah Supporter. Berbicara soal supporter, Indonesia memang dikenal memiliki supporter yang loyal dan militan. Kemanapun Timnas berlaga pasti supporter akan selalu ada, tak terkecuali para supporter dari masing-masing klub Indonesia. Mungkin yang paling terkenal dan memiliki basis terbesar di Indonesia adalah Jakmania (Supporter Persija), Viking (Supporter Persib), Aremania (Supporter Arema) dan Bonek (Supporter Persebaya), ke empat elemen supporter tersebut seolah menjadi kiblat supporter tanah Air lainnya.

Selain terkenal dengan militansinya, supporter Indonesia terkenal juga dengan sejarah rivalitasnya. Bahkan, rivalitas ini sudah bisa dikatakan jauh dari akal sehat, mengapa demikian? Karena rivalitas yang ditawarkan seolah sudah menjadi ritual pembunuhan. Membunuh seolah diwajibkan ketika kedua supporter yang tidak harmonis bertemu. Rivalitas yang paling terkenal mungkin Jakmania-Bobotoh & Aremania-Bonek, karena keempat supporter tadi memiliki basis paling besar di Indonesia, sudah tidak aneh ketika kedua tim bertemu selalu ada bentrok antar supporter atau bahkan ada korban jiwa hingga mati.

Selain keempat basis supporter tadi, tidak menutup juga rivalitas supporter klub-klub lain pula. Selain bentrok antar supporter, beberaoa supporter sering memprotes manajemen klub dengan cara yang radikal, yaitu merusak fasilitas stadion dan lain-lain. Tentu hal ini semakin membuat miris khalayak sepakbola tanah Air.

Bukan tidak mungkin, timbul asumsi bahwa Supporter ingin selalu menang sehingga membuat manajemen klub berpikir keras untuk melakukan segala cara untuk menang, ya salah satunya melalui jalur pengaturan skor dan hal itu merembet ke segala faktor diatas tadi. Dari Federasi sudah carut marut ditambah supporter masih barbar, timbul pertanyaan. Mau sampai kapan seperti ini? Mau sampai kapan menunggu Timnas berprestasi?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun