Ibu Siti, seorang pedagang gorengan di pinggir jalan Jakarta, tiba-tiba harus menaikkan harga jualannya karena gas elpiji 3 kg langka dan harganya melambung. Di sisi lain, pemerintah bersikeras kebijakan pengurangan subsidi ini demi 'menyelamatkan anggaran negara'. Di tengah gejolak harga kebutuhan pokok, siapa yang sebenarnya menanggung beban terbesar? Â
- Kebijakan Subsidi Energi: Antara Niat Baik dan Dampak Tak Terduga
Pemerintah baru-baru ini mengumumkan pengetatan subsidi energi untuk menghemat anggaran hingga Rp100 triliun. Tujuannya mulia: memastikan subsidi tepat sasaran, mengurangi kebocoran, dan mengalokasikan dana untuk program sosial. Namun, di lapangan, kebijakan ini seperti pisau bermata dua. Â
Fakta Menarik: Â
 Data Kementerian ESDM menunjukkan 70% subsidi BBM dinikmati oleh kelompok menengah atas, bukan masyarakat miskin. Tapi, ketika subsidi dipangkas, justru kelompok rentan yang paling merasakan dampaknya. Â
- Dampak Langsung ke Masyarakat: Dari Dapur Hingga Kantong
a. Harga Kebutuhan Pokok Melonjak Â
Subsidi energi selama ini menjadi "penyangga" harga barang dan jasa. Ketika harga BBM atau gas naik, biaya logistik ikut meroket. Contoh nyata: harga minyak goreng naik 30% dalam sebulan setelah kebijakan direvisi. Â
b. UMKM Terancam Gulung TikarÂ
Pelaku usaha kecil seperti warung makan, penjaja gorengan, dan pengrajin mengeluh biaya produksi membengkak. "Dulu sehari pakai 1 tabung gas 3 kg, sekarang harus hemat jadi 2 hari sekali. Tapi pelanggan protes karena gorengan kurang renyah," keluh Bu Siti, pedagang di Bekasi. Â
c. Kelas Menengah Terjepit
Kebijakan tarif listrik progresif membuat keluarga dengan konsumsi di atas 900 VA kena tarif lebih tinggi. Padahal, di kota besar, AC dan perangkat elektronik adalah kebutuhan primer. Â
- Kontroversi Data Targeting: Benarkah Subsidi Sudah Tepat Sasaran?Â