Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Trengginasnya Rara Mendut dan Perempuan Tanah Jawa Klasik

26 Mei 2020   23:00 Diperbarui: 27 Mei 2020   19:23 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan jawa. (sumber: KOMPAS/Wahyu Wiedyardini)

Aku memang menyuarakan hal itu tetapi aku sendiri bertahan hanya sebagai seorang guru. Tidak selamanya mereka yang mengambil perannya sebagai penyemangat manusia lain itu lebih rendah dari pada mereka yang berani mengambil langkah.

Asalkan setiap peran dijalankan dengan niatan hati yang tulus, sekedar nasehat pun adalah salah satu rupa keberanian. Ibarat menyiram benih supaya kelak tumbuh subur dan membuahkan harapan.

Inilah renungan singkatku setelah membaca Rara Mendut. Tentu saja ini terlalu umum. Ada beberapa hal yang nanti ingin juga aku tulis, misalnya bagaimana sang penulis menyinggung pula rasa cinta yang cukup berlebih antar sesama perempuan (Genduk Duku, dayang muda Rara Mendut ini sempat tertulis kian jatuh hati pada puannya sendiri).

Juga, pandangan Wiraguna bahwa setiap pergi perang itu wajib membawa serta para seniman supaya imbang antara otot dan gertak gigi yang dipakai dengan jiwa yang disegarkan oleh seni. Semuanya itu sungguh menarik! 

Sayang sekali memang tidak ada lagi karya dari sang penulis yang telah berpulang tahun 2000 lalu. Sebagai salah satu manusia Indonesia, aku sungguh bangga sanubariku bisa diperkaya oleh tulisan salah satu cendekiawan negeriku sendiri.

--

"Terpilih...? Mas Prana, saya selalu iri hati pada lelaki. Mereka dapat memilih."

"Memilih atau memaksakan kehendak?"

Mendut tersenyum.
--
Kembali lagi pada pertanyaanku di awal tadi... Apakah ini adalah tragedi? Memang pada akhirnya tubuh Rara Mendut dan Pranacitra berlumuran darah dan terombang-ambing di lautan lepas. Tetapi ini bukanlah kisah yang pilu. Setiap perjuangan memang ada harganya.

Walaupun terlihat kalah, tetapi tidak menyerah sampai akhir hidup adalah suatu bentuk kemenangan mutlak yang tidak bisa diabaikan. Kebebasan dalam nurani dan pikiran, siapakah yang bisa mengambilnya?

Bisa kita menganggap bahwa perjalanan yang sejati itu adalah perjalanan dengan raga yang utuh. Tetapi bukankah dengan pikiranmu bahkan kau bisa berjalan ke surga atau neraka sekalipun? Merdeka... Ya, merdeka dan bebas sudah harus sejak dari pikiran dan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun