[caption id="attachment_75226" align="alignleft" width="300" caption="Koran lokal yang memuat berita saya sebagai Kompasianer Terpopuler 2010"][/caption] SAYA tidak pernah membayangkan jika penganugeraan Kompasiana Award 2010 akan berdampak begini. Setelah ditetapkan sebagai kompasianer (julukan untuk penulis blog Kompasiana) dengan predikat terpopuler, Sabtu (27/11), saya cukup sibuk melayani berbagai ucapan selamat. Entah sudah berapa ratus ucapan yang saya terima, baik melalui Facebook, Twitter, SMS maupun BBM. BlackBerry Onyx White saya yang katanya sudah canggih, kenyataannya juga sampai dua kali hang karenanya. Saya pikir, hari ini mungkin sudah sepi. Pasalnya waktunya kan sudah lewat dua hari. Tapi kenyataannya malah lebih rame dibanding saat diumumkan. Terus terang, saya merasa geli sendiri. Saya geli karena seolah-olah menjadi orang penting. Padahal, saya merasa tulisan-tulisan saya di Kompasiana tidaklah ada yang penting. Bahkan boleh dikata amat sangat sangat tidak penting dibandingkan misalnya tulisan Mas Inu yang menelisik sisi lain Pak Beye. Tulisan-tulisan saya tak lebih dari rangkaian kata-kata "sampah" yang mungkin saja banyak diklikk karena secara kebetulan. Terus terang ada perasaan risi dalam diri saya dengan predikat ini. Perasaan itu muncul karena di antara ucapan selamat yang masuk, tidaklah sedikit orang penting, termasuk sejumlah wakil rakyat yang ada di Senayan sana. Ada yang mengatakan kagum, bangga, dll., dsb. Saya merasa risi, karena tidak sedikit pula yang mempertanyakan parameter yang digunakan sebagai alat ukur bagi Kompasiana untuk menentukan rangking popularitas seorang kompasianer. Saya sendiri bingung, karena selama ini hanya diumumkan bahwa akan ada penganugerahan "Kompasiana Award 2010". Hanya disebutkan bahwa penghargaan ini diberikan dalam tiga kategori, yaitu penulis tertaktif, penulis terpopuler dan tulisan terpopuler. Untuk penulis teraktif, tentu saja tidak ada yang bisa membantah jika Mas Kate yang mendapatkannya. Alat ukurnya jelas, bahwa dalam setahun ini beliau yang paling banyak menulis di blog ini. Bahkan namanya terpajang di beranda Kompasiana. Begitu pula dengan tulisan terpopuler. Dari seluruh postingan yang ada di Kompasiana tahun ini, tulisan yang berjudul “STOP Konsumsi Mie Instant! Setelah Departemen Kesehatan Taiwan Merazia Masal Mie Instant Buatan Indonesia” adalah pemegang rekor hit tertinggi. Tapi untuk penulis terpopuler, hingga saat ini saya belum mengetahui kriterianya. Sepengetahuan saya, Admin selama ini belum pernah menjelaskan melalui postingan. Olehnya itu, demi transparansi dan akuntabilitas, saya kira ini penting dilakukan untuk terutama untuk menghindari syakwasangka. [caption id="attachment_75227" align="alignright" width="300" caption="Inilah Piagam dan hadiah dari Kompasiana (foto: Imansyah Rukka)"]
12910309731203657549
[/caption] Lanjut cerita...., hari ini saya kembali menerima banyak ucapan selamat. Ini dikarenakan sejumlah harian lokal memberitakan mengenai anugerah ini. Tribun Timur Makassar misalnya, memberitakan dengan judul, "Warga Palopo Meraih Kompasiana Award 2010" sedangkan Palopo Pos memberitakan, "Blogger Palopo Raih Kompasiana Award 2010". Dalam berita di media lokal di Makassar dan Palopo tersebut, dilengkapi foto penyerahan hadiah yang dilakukan Kang Pepih Nugraha, kepada sahabat saya, Imansya Rukka. Iman mewakili saya karena saya sendiri tak bisa hadir. Terlepas dari perasaan risi saya, terus terang ada rasa bangga. Kota saya yang selama ini tidak banyak dikenal, tiba-tiba jadi pembicaraan. Sejumlah kawan yang di dunia maya sangat dekat dengan saya, sampai bertanya-tanya, dimanakah gerangan kota itu? Apakah ada dalam peta? Tidak sedikit pula yang mengatakan, jika sebelumnya hanya mengenal Palopo dari internet lantaran adanya sejumlah kasus, seperti bentrokan warga , bom Sampoddo, dan sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat di daerah ini. Sebagai tambahan, bahwa Palopo itu adalah salah satu dari tiga kotamadya yang ada di Sulawesi Selatan, selain Makassar dan Parepare. Kota ini memiliki penduduk 130 ribu jiwa. Daerah ini terletak di bibir Teluk Bone. Dari Makassar, perjalanan dapat ditempuh sekira delapan jam, sekitar 36o km melalui jalur darat Trans Sulawesi. Dulu Palopo dikenal sebagai pusat Kerajaan Luwu, salah satu dari tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan (bersama Bone dan Gowa). Adapun Kerajaan Luwu yang juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading itu merupakan negeri asal "Ilagaligo" , epik warisan dunia yang lebih tebal dari Kisah Mahabarata. Kerajaan Luwu, setelah berintegrasi dengan RI, menjadi sebuah kabupaten. Tana Toraja merupakan bagian dari Kabupaten Luwu sebelum melepaskan diri di dekade 60-an. Perkembangan selanjutnya, Kabupaten Luwu mengalami pemekaran hingga kini menjadi empat tiga kabupaten dan satu kota, yaitu Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Palopo. Daerah ini memiliki dua pahlawan nasional, yaitu Raja Luwu Andi Djemma dan Opu Daeng Risadju. Selama ini, saya memang lebih dikenal sebagai kompasianer Makassar. Itu karena identitas saya, termasuk SIM mengggunakan alamat rumah di Makassar. Meski demikian, saya lebih banyak menetap di Palopo, kota di mana istri saya bekerja sebagai tenaga medis (PNS). Kota yang mungil, yang dikenal dengan masakannya yang khas, kapurung. Kota yang jalan-jalannya jarang macet, namun tidak jarang banjir karena sistem drainasenya yang kurang beres. Kota yang saya cintai, terlepas dari segala kekurangannya. Saya bangga karena bisa memperkenalkan kota Palopo, meski di tengah perasaan risi. Boleh jadi, perasaan ini akan hilang setelah Admin Kompasiana menjelaskan mengapa predikat ini sampai jatuh ke tangan saya, bukan pada sejumlah kompasianer bintang , di antara 45 ribu member Kompasiana yang bertaburan di berbagai belahan bumi. Salam bangga dan risi, Bang Asa - Pin BB: 230739 EA Catatan: Bagi kompasianers yang ingin bergabung dalam Komunitas Penulis Kompasiana di Facebook, silakan KLIKK: “Kompasianer Community” atau: http://www.facebook.com/home.php?sk=group_162268430480285&ap=1Baca juga tulisan sebelumnya: