Mohon tunggu...
Didik Hendrix
Didik Hendrix Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Cucu jauh Jimmi Hendrix yang peduli rakyat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku adalah Seorang Nihilis

7 Maret 2018   17:19 Diperbarui: 7 Maret 2018   17:26 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rumputku lebih hijau ketimbang rumput tetangga. Hanya diriku yang paling benar, yang lain salah semua. Banyak orang berlagak mencapai mokhsa, tapi aku tidak perlu mencapainya. Aku sendiri adalah mokhsa. Kebenaranya adalah bawa revolusi adalah jalan keluar atas hampir segala permasalahan sosial kita. Kami tidak ingin negara dan kapitalisme hancutr setelah kami mati, kami ingin menyaksikanya, bahkan kami yang ingin menghancurkanya. Tapi kami sadari, kapitalisme dan negara terlalu kuat, mereka tidak mudah dihancurkan, jika tidak karena mereka hancur dengan sendirinya.

                Segala kondisi menunjukan tanda-tanda sebuah tragedi. Mereka yang kurang revolusioner dan si penakut menguburkan diri atas segalanya dibalik kedok mereka. Para penjual buku melebar kan iklan bertuliskan ''membaca adalah melawan. Mereka yang terdemoralisasi melarikan diri ke desa dan bertahin, berpura-pura menulis ''menanam adalam melawan''. Tidak kawan, jangan bercanda, menanam adalah menanam. Tidak, tidak, membaca adalah membacan. Begitu pula dengan tulisan ini, sebab kata adalah kata, senjata adalah senjata. Depresi dengan diri mereka sendiri sebagai korban dari sebuah tren, tapi tidak bisa menjadikan sasaran amuk yang tepat, hanya meledak secara sporadis.

                Tapi tidak demikian dengan kami, otak kami sadar dan berpandangan jelas menerawang ke depan. Kami sadar, hal terburuk akan datang, menjadi sebuah ancaman yang tidak akan dimenangkan. Kami tidak senaif orang-orang yang menyerukan pemberontakan dan revolusi. Berlagak antusias, dan berpura-pura optimis. Kami dipenjara pesimisme. Berbahagia, berbaring dengan tawa nyaring diseling air mata.

Kami terpeleset dalam krisis eksistensial, dimana kami merayakan hari-hari kebosanan kami. Kami bosan dengan rasa seru, tapi kami bosan dengan rasa bosan. Jika banyak orang mengalami ketidak adilan, masih layakkah kita mengatakan bahwa hidup itu tidak adil? Kami lelah bertanya-tanya dalam benak, dan dengan sendiri menjawab pertanyaan itu. Kami sudah cukup untuk terjebak mendefinisikan segala sesuati. Berhenti mengajukan, memukul rata, dan menerapkan dalil, premis, axioma, tesis tunggal.

                Kami memberontak, dalam ketidaktaatan intelektual meski membuat kami menyedihkan. Tapi inilah wujud kami. Memberontak secara fisik manakala ilmu pengetahuan mestinya menjadi pembebas bukanya perantai manusia dalam tanah. Itulah, kami berjuang tidak untuk apapun. 

Bukan untuk kemenangan atau kemerdekaan diri sebagai perayaan individualitas. Karena kami sadar kejahatan selalu menang. Kami adalah generasi tak berzaman, kami tak tercatat dalam tahun apapun, sejarah sudah berakhir. Kekalahan kami sudah diujung ekor mata. Bahkan kami menjelma menjadi kekalahan itu sendiri. Dari hidup dan mati, kami sudah mati. Apapun tak ada yang bisa dibunuh dari kami.

                Apa uniknya kami? Kami tidaklah spesial. Kami hanya material hidup bak tanah, dan air yang menjadi perputaran alam. Aku berputar di kesenangan huru hara kota. Aku tak suka rindu hujan dan nyanyian senja. Aku senang menyaksikan keruntuhan sesuatu yang kubenci. Karena tak ada yang bisa dibicarakan dengan baik. Persetanlah lawan kekerasan dengan kekerasan. Kami membentang luas dibarisan depan setiap demonstarsi dengan ''TOLAK SEGALANYA!''

(didikhendrik)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun