Mohon tunggu...
Didik Hendrix
Didik Hendrix Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Cucu jauh Jimmi Hendrix yang peduli rakyat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ahok Marah, Banjir yang Takut

14 Desember 2017   11:06 Diperbarui: 14 Desember 2017   11:10 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MASIH teringat romansa cinta istimewa beberapa tahun lalu. Ketika saya memandang genangan basah setinggi lutut yang dibelah para warrior pukul 07.00 pagi Jakarta itu. Banjir adalah sahabat bisu dan nafas kami para peniti jalan protokoler Jakarta. Meski beberapa kali disingkap dan tersisih ke pori-pori jalan, air tetap setia memeluk kembali dengan hangat kaki ini meskipun bulu kaki memberontak teriak tenggelam olehnya.

Pagi siang malam, tak tentu ia datang. Namun ada momen momen dimana 'kerinduan' akan banjir menjadi pertanda kedatanganya. Tengok saja ke atas, ketika hujan ikut merindu, menitikan air mata untuk memanggil cinta rahasia Jakarta ini.

Namun, layaknya kisah cinta indah pada umumnya, tak semua bertahan selamanya.

Datang satu waktu, entah mengapa tidak tercatat kapan, datang sesosok tegas yang punya impian nyata. Perlahan menghapus romansa 'aneh' kami dengan banjir. Dengan konsisten, ia melepas pelukan banjir dari warga Jakarta.

Saya masih ingat betapa pandainya ia berbicara untuk melepas ketergantungan kami pada kehangatan pelukan musibah itu. Meskipun tak sedikit orang yang masih bergantung denganya, dan meremehkan kata2nya. Banyak yang yakin untuk tidak melepas kenangan indah bersama banjir dan mengucap perpisahan yang pantas.

Singkat, beberapa bulan kemudian, mata kami seakan di lepaskan dari belenggu kaca mata kuda. Kami bisa melihat Jakarta kembali seutuhnya. Menghadirkan keindahan di pangkal kornea kami.

Pada akhirnya, kami jatuh cinta lagi. Dengan lingkungan yang indah, dengan aspal yang kering, dengan sungai yang lancar, dengan jejak langkah yang bersih. Hingga, betapa romantisnya gesekan alas kaki kami dengan  jalan yang slama ini terhalang oleh pelukan banjir.

Anak -- anak kecil kembali bermain bola diujung-ujung jalan. Ketika haus, adik kami bisa berlari gembira melintas jalan untuk membeli es teh plastikan, disruputnya sambil menikmati kereta yang melintas. Kami tak perlu lagi bermain parkour ketika turun dan keluar dari stasiun untuk menjangkau trotoar. Dan banyak lagi kecintaan baru pada Jakarta setelah seorang datang dan mengubahnya.

Kami juga lebih sering tertawa bahagia, dari sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Sebut saja koran, tv, dan media.

Dari pemimpin kami yang dengan tegas membentak anak buahnya ketika tertidur, dengan lembut menegur anak buahnya yang hilang saat upacara, mengelus anak buahnya ketika bermain main dengan anggaran daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun