Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pada Sebuah Lukisan

24 November 2015   06:00 Diperbarui: 26 November 2015   15:07 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku yakin bahwa hal itu juga yang sedang ia rasakan. Hal yang sama yang membuatku memutuskan untuk membeli lukisan itu dan menggantungnya di ruang tamu. Kami berdua ternyata memiliki kesamaan. Yaitu sama – sama senang padai lukisan yang ada di dinding itu.

Terakhir aku baru menyadari kalau ia ternyata tidak sekedar menyukai lukisan itu. Ia benar-benar tak pernah bosan memandanginya. Binar matanya menunjukan kalau ia sangat bahagia ketika berada di sana. Bahkan aku sempat menganggap bahwa jiwanya benar-benar telah masuk kedalam lukisan itu. Membayangkan ia sedang berlarian di pematang sawah. Bermain layang-layang. Mengejar kawanan burung pipit. Dan mandi di aliran sungai yang jernih. Sebagaimana anak-anak kecil biasa melakukannya.

Meskipun ia bisu. Meskipun ia terlihat sedikit aneh. Terus terang aku mulai menyukainya. Ketertarikannya pada lukisan yang begitu dalam telah membuat hatiku menerima segala keanehannya, segala kebisuannya itu. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya di rumah kami.

***

Sore itu hujan turun dengan derasnya. Langit terlihat begitu gelap. Aku sedang duduk di ruang tamu bersama istriku. Hujan yang disertai angin telah membuat ruang belakang rumah basah karena tampias. Tidak nyaman untuk tempat membaca buku.

Nampaknya kali ini anak lelaki itu tidak datang. Sampai hari menjelang malam. Ia tak juga muncul di ruang tamu kami. Padahal aku sudah menunggunya. Mungkin karena hujan begitu deras. Sehingga ia tak boleh keluar rumah.

Aku berdiri dan sedikit membuka celah pintu. Untuk apa, entahlah. Aku hanya sedang ingin melihat air hujan yang sudah mulai menipis itu. Aku mengeluarkan kepalaku. Di ujung jalan dekat rumah anak lelaki bisu itu terlihat sebuah taksi yang sedang diparkir. Ayahnya sedang berada di rumah pikirku. Angin tiba-tiba bertiup begitu kencang. Menyapu sebagian rintik hujan ke arah mukaku. Aku segera menarik kepalaku kedalam.

Namun sebelum pintu benar-benar tertutup. Tiba–tiba saja terdengar jeritan seorang perempuan. Jeritan itu begitu keras. Sampai–sampai mengundang beberapa tetangga yang lain keluar dari rumahnya. Aku reflek segera berlari. Reflek yang sama seperti saat istriku mencubit lenganku. Menerabas hujan. Aku tak memperdulikan apapun. Aku hanya terus berlari menuju tempat jeritan perempuan itu berasal. Dan tak berapa lama aku telah mendapati diriku sudah berdiri di depan pintu rumah sopir taksi itu. Beberapa tetangga lainnya sudah berada di belakangku. Suara perempuan itu masih menjeri-jerit. Kali ini dengan suara tangisan yang begitu meratapi. Kamipun segera mendobrak pintu rumah itu.

Aku mendapati seorang perempuan terduduk di lantai. Ia sedang mendekap seorang anak laki – laki yang terlihat lemas dan sudah tak bernyawa. Darah segar berceceran di lantai. Tak jauh dari perempuan itu. Tergeletak mayat seorang laki-laki dengan pisau dapur menancap tepat di lehernya.

Orang–orang terdiam. Tak ada yang berani untuk bertindak. Tatapanku kembali tertuju pada anak laki-laki yang sedang berada didekapan perempuan itu. Lehernya membiru, mata dan mulutnya masih terbuka. Ia mati dicekik. Kemudian aku mendekatinya.

Aku melihat kedalam mulut anak itu. Aku melihat penyebab kebisuannya selama ini. Aku begitu marah. Ternyata anak lelaki itu tak memiliki indra pengecap. Bagian tubuhnya itu jelas sekali telah lama dipotong. Sungguh biadab. Aku tak bisa mengendalikan diri. Aku berteriak sangat keras. Menangis sejadi-jadinya. Menangisi kepergiannya. Menangisi kebisuannya yang kini telah abadi.  

---o0o---

1) Buffet: Lemari Pajangan

Depok, 24 Nopember 2015

Ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun