Aku masih ingat semuanya. Semua kenangan tentang dirinya. Dia, seseorang yang telah lama menemaniku. Ah, bukan. Aku yang ditemani olehnya, oleh ketegaran ya.
Kini dia telah tertidur. Aku yakin, dia tak akan bangun lagi. Mengharappun percuma. Tubuhnya telah terlilit kain kaffan. Siapa yang mau terbangun dengan tubuh terlilit kain putih berlapis-lapis? Rasanya tak ada.
Aku menangis ketika pertama kali mendengar kabar kepergiaannya. Tak mampu ku mengucapkan apapun. Hanya, ... ah, entah apa yang kurasakan saat itu. Aku terkejut, diam dan menangis terisak-isak. Aku menyesal karena tak berada di sisinya pada saat terakhirnya.
Meskipun aku tahu pasti, dia tak membutuhkan kehadiranku. Itu pasti. Dia memang, ... ah, bagaimana aku mengungkapkannya? Dia itu entah memiliki kepedulian atau tidak, aku tak tahu. Maksudku perasaannya. Apa dia memiliki rasa peduli? Entah. Dia bisa berdiri seorang diri dalam kehidupan ini jika dia mau dan memang dia telah menemukannya. Benar, memang, dialah yang menemaniku, bukan aku yang menemaninya. Itu membuatku bahagia.
***
"Kau mau kemana, Shin?" Tanyaku padanya suatu hari ketika aku berumur 10 tahun.
"Aku mau ke sungai." Jawabnya dengan sekilas memandangku.
"Ngapain?" Tanyaku heran. "Kau kesana sendirian?"
"Aku ingin kesana saja." Jawabnya. "Iyaa, aku kesana sendirian."
"Kata Ayahku, aku tidak boleh main ke sungai. Berbahaya. Kau bisa terseret arus sungai." Aku memperingatkan.
"Ayahku lebih suka kalau aku mati." Jawabnya sambil terus berjalan.