Mohon tunggu...
Andri
Andri Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia biasa

orang ngawur yang tak kunjung benar | laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tak Kunjung Pancasila

2 Juni 2020   03:09 Diperbarui: 2 Juni 2020   03:07 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1 Juni 1945 sudah ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Hari dimana Bung Karno memaparkan gagasan-gagasan mengenai landasan bagi suatu negara yang akan berdiri. 

Tetapi, Bung Karno sendiri yang mengatakan bahwa Pancasila berasal dari nilai-nilai bangsa Indonesia itu sendiri. Artinya, Pancasila adalah rumusan yang menghimpun berbagai macam karakter, mental dan potensi masyarakat Indonesia. Kalau dianalogikan, Pancasila ibarat tumpeng yang nasi, tempel, tahu, daun, dan lauk pauk lainnya yang berasal dari produk Indonesia sendiri. 

Bila Pancasila merupakan hikmah yang digali dari masyarakat itu sendiri, maka Pancasila semestinya tidak bertentangan dengan masyarakat itu sendiri. Pancasila bersifat layaknya tali di leher kambing. Bukan berguna untuk membatasi atau mencekik si kambing, melainkan supaya si kambing hanya memakan apa yang boleh dia makan dan tidak keluyuran bertengkar dengan kambing lain atau mengambil jatah makan kambing tetangga.

Anehnya, bangsa Indonesia semakin lama seolah semakin 'tak sinkron' dengan Pancasila. Entah karena Pancasila tak mencerminkan mental dan karakter bangsa Indonesia sendiri, atau karena terlalu lama berfaham Kapitalisme. Tapi rasa-rasanya, nilai-nilai Pancasila semakin sukar untuk ditemukan dan dilakukan.

Di bidang politik misalnya, kita selalu saja terjebak pada isu "islamis vs nasionalis".  Pilgub DKI terakhir dan pilpres yang baru selesai 'kemarin subuh' menjadi saksi betapa mudahnya kita diadu domba dan dipermainkan oleh tema "islamis vs nasionalis". 

Lebih dari 70 tahun NKRI berdiri, tapi sepanjang itu pula urusan "islam dan nasionalisme" tak kunjung kelar. Ketika menghadapi isu tersebut, kita bukan cuman gagap dan aneh, bahkan terlihat lucu. Para intelektual yang mestinya menjadi pilar di dalam bernegara nampak tak mampu menemukan titik temu antara rasa cinta pada negara dan pengabdian di dalam agama.

Kita selalu menempatkan negara dan agama sebagai suatu lembaga yang berbeda. Kita selalu bilang, "ini urusan negara, bukan urusan agama," atau "ini urusan agama, bukan urusan negara."

Cara berpikir kita terkotak-kotak dan dikotomis. Benar bahwa dalam mengurus suatu urusan khususnya dalam pengelolaan suatu negara, diperlukan pembagian tugas dengan cara mengelompokkan bidang-bidang persoalan. Tetapi, seluruh dimensi-dimensi itu tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait dan mendukung satu sama lain.

Misalnya, untuk mengambil kebijakan apakah melakukan Karantina Wilayah atau PSBB tak boleh hanya mempertimbangkan urusan ekonomi atau mendengar saran hanya dari para pemilik modal saja. 

Anda harus melibtkan Tuhan di dalam kebijakan yang anda buat. Karena sehat atau sakit, hidup atau mati, iu merupakan haknya Tuhan. Tugas negara adalah memperjuangkan keselamatan, keamanan, dan kebutuhan rakyatnya. Bila akhirnya anda putuskan ambil langkah PSBB atau 'new normal' hanya dari sudut pandang kapitalisme, silahkan tanggung jawab di hadapan Tuhan. 

Meskipun Tuhan disebut di dalam sila pertama, faktanya Tuhan selalu tak pernah menjadi input atau faktor dari pengambilan keputusan para pejabat dan para elite partainya. 

Para pejabat masih saja memikirkan perut, kantong, dan nasib keluarganya sendiri dibanding nasib masyrakat yang menggajinya. Para elite tak pernah insyaf memainkan rakyat layaknya kelereng. 

Rakyat selalu diadu domba dan digiring kepada pandangan yang tidak jernih dan sikap yang tidak objektif terhadap persoalan. Ketika pemilu tib, di kepala para elite dan pejabat hanyalah doal berkuasa, bukan soal jihad untuk nilai-nilai Pancasila.

Kita hanya bisa ngamuk ketika ormas macam HTI menggaungkan gagasan ideologi lain. Kita hanya bisa mengutuk komunisme sepanjang zaman tanpa pernah belajar terhadap sejarah. Kita sekadar marah saja kepada kapitalisme yang benar-benar telah menjauhkan kita dari tujuan, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". 

Kita seperti tak serius berpancasila. Pengelolaan negara berlangsung dengan sedikit kesadaran Pancasila. Kehidupan sosial berlangsung juga tak sejalan dengan Pancasila. Pancasila menuntut Keadilan, tapi kita berambisi untuk menjadi yang paling kaya raya dan paling terhormat karena harta dan jabatan yang kita miliki. Kita lebih suka berjuang untuk memakmurkan diri sendiri ketimbang berjuang untuk menata keseimbngan sosial dan ekonomi.  Kita lebih suka mengdepankan kepentingan golongan dan mencapai tujuan kita sendiri ketimbang mengdepankan kepentingan bersama.

Kita lebih suka Pancasila sebagai kata dan menghafal nilai-nilainya tanpa mengamalkan nilai-nilainya. Kita lebih suka Pancasil sebagai kata benda daripada memaknainya sebagai kata kerja. Karena kita picik, curang, serakah, dan penjahat yang suka berlindung di balik Pancasila, layaknya memperingati hari buruh dengan kesadaran materilaistik dan hedonistik. Sehingga tuntutan kita di Hari Buruh selalu tentang pemenuhan hasrat konsumtif kita, bukannya soal keadilan mengenai hak-hak kesehatan, pendidikan atau keselamatan kerja.

Kita selalu saja begitu. Selalu tak pernah serius dan malas belajar. Kalau suatu hari tsunami, letusan gunung berapi atau virus benar-benar menjadi wabah yang mengancam kita barulah kita sibuk dan heboh menyelamatkan diri. Bila kelak akan ada suatu gerakan, ormas, partai, atau individu yang menawarkn gagasan untuk mengganti Pancasila kita akan ramai-ramai mengutuk dan menyalahkannya dengan car-cara yang tidak Pancasilais. Kita tak pernh mengamalkan Pancasila, lalu ketika ada yang menagih, "mana bukti Pancasila?" Kita marah, ngamuk dan mengutuknya sebagai pemberontak atau menuduhnya makar.

Jangankan memaknai atau mengurai seluruh nilai dalam Pancasila, wong menjalankankan Ekasila (gotong royong) saja susahnya minta ampun. Kita malas kerja sama dan lebih suka membangun citra sendiri. Kita tak suka menikmati hasil keringat bersama, karena kita lebih suka tidak berkeringat tapi menikmati hasil yang paling besar sendiri. 

Spiritualitas di dalam kehidupan, gotong royong, keadaban, soliditas, bermusyawarah dan bermufakat seperti makhluk asing bagi kita. Layaknya sebuah kebiasaan atau perilaku yang bukan diri kita. Sehingga bukannya menuju keadilan, melainkan kita sedang membangun ketidakadilan yang abadi. 

***

Pada akhirnya, segala gerakan atau gagasan yang berupaya untuk mengganti atau meniadakan Pancasila berawal dari 'ketiadaan Pancasila' di dalam realitas kehidupan. Kita gagal mengamalkan Pancasila dan menjadi Pancasilais.

Bila Pancasila merupakan rumusan yang diambil dari bangsa itu sendiri, kenapa kok kita sulit sekali untuk berperilaku Pancasilais?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun