Di sana, setiap waktu dikerubuti lalat, juga aroma tak sedap yang menusuk indra penciuman. Di sana, setiap waktu ia harus berjibaku menutupnya dengan tisu, lalu melilitinya dengan kain untuk menahan kotoran itu tidak muncrat dan meluber kemana mana.
"Kadang kadang saya menangis sedih, saya lihat pertarungan yang dihadapi isteri dan anak-anak, hampir setahun dua bulan saya tidak bisa apa apa," ujarnya lirih.
Dalam kondisi sulit, ia masih berpikir tentang anak laki laki yang mengambil perannya sebagai pencari nafkah. Keluarganya yang sederhana, menghabiskan uang setiap harinya hanya untuk membeli tisu, itu yang utama dibanding sekedar membeli lauk pauk untuk menambah suplemen gizi bagi anak yang sakit sesuai saran dokter.
"Mau menangis, tidak bisa menangis. Mau teriak tidak bisa teriak, saya tersiksa dan tidak bisa buat apa apa dengan kondisi seperti ini. Saya ingin pulang saja ke Ende, lalu mati saja di sana, daripada di sini sengsara," keluh lelaki yang menginjakkan kaki di Kupang sejak 1994 silam.
Yohanes yang awal mulanya merasa kembung pada perut, kemudian diperiksa oleh dokter dengan vonis mengalami penyakit usus dan harus dioperasi itu lalu harus menerima kenyataan sengsara setelahnya karena tidak lagi bisa beraktifitas normal seperti sedia kala, termasuk memulung untuk menghidupi keluarganya.
Ia bersama keluarganya hanya berharap ada keajaiban yang bisa menyembuhkannya, baik secara medis maupun dalam bentuk dukungan dari orang yang berbaik hati. Pasalnya, selama lebih dari setahun bergumul dalam penderitaan, pemerintahan wilayah terkecil di tingkatan RT pun seolah tidak peduli pada keberadaannya. Demikian pula, saudara sekomunitas umat basis dalam Gereja Paroki pun demikian, setali tiga uang.
Hingga kini, ia hanya menghabiskan waktu di tempat tidurnya, sambil menahan bau dan mengusir lalat yang mengerubuti perut rentanya.Â
*telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Miris! Tiap Hari Habiskan Dua Bal Tisu, Perut Yohanes Tetap Dikerubuti Lalat