Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mempertanyakan (Kembali) Hak Pemilih

10 Desember 2018   16:58 Diperbarui: 10 Desember 2018   20:55 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/HANDINING

Selamat hari Hak Asasi Manusia sedunia. Semoga pemenuhan HAM dalam lingkup Rights to Vote menjadi prioritas pada pemilu 2019.

Pemilihan Umum menjadi kesepakatan bersama rakyat Indonesia. Ketika kita memilih untuk hidup dalam payung demokrasi. Memahami bahwa dalam kehidupan yang demokratis. Rakyat memiliki hak dalam pemilihan para wakil rakyat dan pemimpin bangsa (Pasal 22E UUD 1945).

Oleh sebab itu, pemilu menjadi ruang kuasa rakyat. Tujuannya adalah memberikan daulat rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945) dalam menentukan siapa yang menjadi wakil-wakilnya (Pasal 19 ayat 1 UUD 1945). Sehingga, suara rakyat (baca: pemilih) harus terpenuhi dengan sebaik-baiknya.

Kalaupun ada rakyat yang tidak terpenuhi hak untuk memilih (rights for vote). Itu hanya berlaku dengan ketentuan pembatasan Hak Asasi. Semua rakyat berdaulat. Namun, demi menjaga kualitas demokrasi. Maka Negara (baca: Undang-Undang) memberikan pembatasan untuk menjamin kesetaraan yang objektif dan profesional.

Dalam hal ini, pembatasan tidak berarti mengurangi hak pemilih. Pembatasan HAM hanya berlaku pada syarat tertentu yang disepakati bersama. Sehingga, jika kita membaca beberapa Undang-Undang Pemilu. 

Pembatasan hak untuk memilih (rights to vote) adalah rakyat Indonesia, sepanjang dapat dibuktikan dengan syarar administratif telah berusia 17 tahun atau telah (pernah) menikah (Pasal 1 ayat 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum).

Kepada merekalah seluruh rakyat pada umumnya memberikan kuasa untuk memilih saat pemilu. Sehingga, sepanjang dia memenuhi syarat yang sudah dibatasi tersebut. Maka dia berhak untuk mendapatkan perlakukan yang mencitrakan pemilih memiliki "kedaulatan di tangan rakyat".

Salah satunya dan ini merupakan hak pertama dari pemilu yang demokratis. Adalah hak untuk dapat di data sebagai pemilih. Karena pembatasan sudah dilalui dengan ketentuan usia dan status pernikahan. Selain dari pada itu, maka, penyelenggara pemilu dan pemerintah berkewajiban penuh memenuhi hak untuk terdaftar sebagai pemilih.

Akan tetapi, sudah bosan kita mendengar. Bahwa daftar pemilih setiap pemilihan, baik pemilu dan pilkada, jauh dari kata pemenuhan hak daulat rakyat. Masih saja, ada pemilih yang tidak terdaftar. Atau pemilih yang kehilangan "kedaulatannya" akibat permasalahan administratif (Pasal 348 UU No.7 Tahun 2017).

Padahal, administratif adalah syarat formalitas. Sekaligus bukti otentik suatu kejadian dan peristiwa. Akan tetapi, administratif yang menghilang hak pilih adalah pelanggaran HAM dan Konstitusi. Sehingga, bukan masalah sepele, jika stakeholder DPT belum menemui solusi pendataan terbaik untuk rights to vote.

Masalah lain adalah pemenuhan rights to vote kalangan yang terbatasi haknya. Seperti kalangan militer dan kepolisian. Mereka memenuhi syarat administratif formal secara usia atau pernikahan. Namun, pembatasan berlaku sepanjang pemilih ini masih mengenakan baju militer dan kepolisiannya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun