Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Melihat Potensi Bencana Pemilu

28 November 2018   17:24 Diperbarui: 30 November 2018   04:37 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/HANDINING)

Sepanjang sejarah kontestasi politik, saling hujat, menyebar fitnah dan memainkan uang adalah suatu kebiasaan. Apalagi komtestasi itu membutuhkan suara mayoritas untuk menang. Sehingga memaksa kontestan menggunakan pelbagai macam cara. Agar mimpinya meraih kursi berlabel pejabat dapat diraih. Inilah yang dikatakan politik kekinian. Cara meraih kekuasaan dengan jalan mengakali berbagai aturan.

Bila kita melihat lebih jernih. Perebutan kekuasaan melalui jalur pemilihan adalah suatu kerja yang jauh dari kata baik. Asas jujur dan adil pun, sulit rasanya terpenuhi. Malahan, asas bebas - lepas - tak terkendali mengusik ketenangan berbangsa. Pada akhirnya, pembelahan kekuatan merasuki setiap insan. Sehingga terjadilah kebencian akibat politik. Sungguh miris. Tapi apalah daya, itulah yang sedang kita hadapi saat ini.

Saat kita menerima kompetisi berbasis perwakilan antar partai. Kekecewaan muncul akibat segelintir elit yang memainkan peran jahat. Hanya komunitas merekalah yang menerima mamfaat dari setiap kontestasi. Sedangkan para pekerja partai hanya bisa mengelus dada. Menunggu harapan menjilat pemilik partai. Untuk mendapatkan sedikit manisnya kue kekuasaan.

Partai politik, bukan lagi sebagai salah satu pilar demokrasi. Dia telah menjadi alat pemiliknya. Dengan tujuan merebut, menjaga dan mempertahankan kekuasaan. Tidak jelas lagi, mana partai politik yang berideologi. 

Sekarang, semua bagaikan perusahaan, bisnis politik, untung-untungan dan parahnya tidak perduli akan pendidikan politik warga negara. Jadi, sangat wajar jika pilihan untuk menerima pemilu secara langsung.

Akan tetapi, pemilu ini, bukan tanpa cela. Kebebasan calon anggota legislatif dalam memainkan peran. Telah mengusik pertarungan politik baik. Para pebisnis, pesohor dan keluarga pemilik partai adalah pemain inti dari pemilu. 

Selama mereka bisa merebut simpati pemilih. Selama itu, pekerja partai menerima nasib naas tiada akhir. Lucunya, pejabat yang terpilih oleh pemilu, kebanyakan check in di hotel prodeo akibat kasus korupsi.

Kejahatan politik praktis tidak pernah berhenti. Dengan nama hak mendapatkan dukungan. Para pemain politik kehilangan dalam keberanian bertarung. Muncullah ide mengusung satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah. 

Harapannya, tidak perlu pertarungan politik. Cukup bergerombolan mengusung dan mendukung calon tunggal. Karena kemungkinan kalah cukup kecil. Bila menang, tinggal membagi jatah keuntungan dalam berbagai program pemerintahan lokal.

Belum lagi usai satu masalah, muncul lagi masalah gila. Entah darimana asal muasalnya. Para pembentuk undang-undang membatasi kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Alasannya adalah menjaga kekuatan eksekutif dan menguatkan hubungannya dengan legislatif. Karena itu, Presidential Threshold lahir. Namun, apakah memang benar, kesamaan Presiden dan Wakil Presiden dengan mayoritas koalisi di DPR mampu menyelesaikan masalah? Belum tentu dan belum terbukti.

Bahanya, bila suatu kejadian memaksa munculnya satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Maka, kita cukup mengucapkan selamat tinggal demokrasi prosedural dari impian subtansial. Hancur-lebur mimpi memberi kesempatan yang sama dalam kompetisi terbaik calon pemimpin negara dan pemerintahan ini. Tentu saja, ini hanya kemungkinan. Tapi, calon tunggal Presiden bisa saja terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun