Mohon tunggu...
Andri Pratama Saputra
Andri Pratama Saputra Mohon Tunggu... Bankir - Seorang yang ingin selalu belajar dan saling berbagi pengetahuan

Seorang yang ingin selalu belajar dan saling berbagi pengetahuan #RI #BudayaReview

Selanjutnya

Tutup

Financial

Manajemen Krisis Sistem Keuangan di Indonesia

1 Desember 2022   06:33 Diperbarui: 1 Desember 2022   06:39 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman krisis 2008 telah menyebabkan kesadaran pentingnya kebijakan makroprudensial sebagai penahan risiko sistemik agar tidak terjadi kembali. Agung, dkk (2021) menyebutkan goncangan pada sistem keuangan bersumber penanganan ketika krisis yang kurang memadai. Krisis keuangan diartikan sebagai sebuah gangguan pada pasar keuangan yang didalamnya dapat terjadi moral hazard atau adverse selection sehingga pasar keuangan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, tidak berjalan efisien serta menyebabkan penyaluran dana tidak optimal dan berdampak terhadap penurunan aktivitas keuangan. Lebih lanjut, krisis ini juga disebabkan oleh krisis kepercayaan yang menurun drastic dan berefek terhadap perekonomian.

Krisis yang terjadi pada masa lalu tak terlepas dari beberapa faktor kelompok yakni:

  • Krisis nilai tukar karena spekulasi nilai tukar yang berlebihan dan berdampak depresesiasi nilai tukar itu sendiri;
  • Krisis karena negara tidak mampu membayar utang;
  • Krisis karena capital inflow atau outflow yang besar dan berefek terhadap penurunan output;
  • Krisis karena penurunan kualitas aset dan kredit.

Penanganan krisis yang terlambat dapat menyebabkan akumulasi biaya penanganan krisis yang tidak kecil dan memerlukan biaya salah satunya dari PDB suatu negara. Krisis dapat menyebabkan fungsi intermediasi terganggu dan pemulihan ekonomi yang dapat berlangsung lama khususnya ketika resesi. Dari permasalahan tersebut, penting dikembangkan sebuah kerangka manajemen krisis yang didalamnya terdapat instrument untuk memitigasi risiko yang disusun untuk sektor fiska dan moneter serta mencegah terjadinya moral hazard, semua itu diperlukan di semua tahapan krisis yaitu:

  • Tahap membatasi krisis agar tidak menular ke yang lain;
  • Tahap resolusi dan restrukturisasi dengan menutup lembaga keuangan yang insolven;
  • Restrukturisasi operasional untuk mengembalikan ketahanan keuangan.

Penyusunan manajemen krisis memerlukan aspek kehati-hatian, contohnya ketika krisis 2008 pemerintah melakukan bailout untuk menyelamatkan lembaga dan uang, langkah ini harus memperhitungkan aspek kehati-hatian yang meminimalkan risiko moral hazard dan tidak terjadi spekulasi dan risk taking berlebihan.

Pascacrisis 97/98, Indonesia mereformasi sektor keuangan termasuk penajaman fungsi kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Peran BI sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran sedangkan Kemenkeu selau otoritas fiskal dan pengelola keuangan negara. OJK didirikan setelah krisis 2008 untuk menjaga aspek mikroprudensial, sedangkan LPS dibentuk sebagai otoritas resolusi bank melalui penjaminan simpanan. Dalam mencapai koordinasi yang baik, dibentuk UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).

UU PPKSK mencakup pencegahan krisis dengan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan permasalahan bank sistemik baik dalam keadaan normal atau krisis. UU PPKSK memiliki 5 prinsip utama yaitu:

  • Penguatan kooordinasi lembaga yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yaitu BI, Kemenkeu, OJK, dan LPS yang memiuliki wewenang dan fungsi masing-masing dan berkoordinasi secara intensif baik dalam pemeliharaan, pemantauan, dan pencegahan;
  • Mendorong pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan khususnya yang telah ditetapkan sebagai bank sistemik;
  • Penanganan bank dengan konsep bail in yakni penanganan masalah likuiditas dan solvabilitas dengan sumber daya sendiri yang diharapkan permasalahan bank tidak membebani APBN;
  • Penanganan masalah likuiditas dan solvabilitas secara komperhensif dan lengkap;
  • Predisen memegang kendali dalam penanganan krisis seperti memutuskan keadaan krisis dan langkah dalam menangani krisis.

Dalam mencegah dan menangani krisis, anggota KSSK yaitu Menkeu, GBI, DK OJK,dan ketua LPS mengadakan rapat secara berkala dalam 1 kali setiap 3 bulan untuk mengambil keputusan dari Menkeu, GBI, dan DK OJK, sedangkan ketua LPS memiliki hak bicara tanpa hak suara. UU PPKSK bersifat mengikat yang diambil berdasarkan musyawarah mufakat. Tugas KSSK adalah berkoordinasi dalam memantau SSK, menangani krisis sistem keuangan, dan menangani masalah bank sistemik. Hasil pemantauan KSSK disampaikan secara berkala dalam rapat KSSK yang anggoitanya menyampaikan Protokol Manajemen Krisis (PMK) apakah masih normal atau segera ditindaklanjuti.

Dalam masa pandemi kemarin, UU PPKSK memperkuat UU 2 Tahun 2020 tentang penetapan Perpu 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam penanganan covid 19. Hal inindilakukan untuk mengatasi pandemic sebagai kejadian luar biasa yang harus ditangani dengan serius, komperhensif, dan forward looking agar SSK tetap dapat terjaga. Berdasarkan forward looking, kondisi 2020 memaksakan langkah luar biasa melalui paying hukum UU PPKSK dan UU No. 2 Tahun 2020 sebagai kerangka manajemen krisis nasional yang harus dijalankan dengan komitmen dan hati-hati.

Dalam menjalankan PMK, BI mewudujkan kerangka manajemen krisis BI dalam bentuk PMK BI yang bertujuan sebagai pedoman yang terintegrasi dan berkelanjutan dalam mencegah krisis sesuai dengan tugas dan wewenang BI dalam rangka menjaga SSK dan stabilitas sistem pembayaranm serta seagai landasan hukum dalam pengambil keputusan sesuai dengan tugas dan fungsinya melalui tata kelola yang baik, pencegahan penanganan krisis yang memadai, koordinasi dan komunasi yang dijalankan dengan efektif.

PMK memiliki 3 subprotokol yaitu subprotokol moneter-nilai tukar, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang merupakan cakupan wewenang BI yang dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup yaitu Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) sebagai coordinator pelaksanaan PMK yang meliputi kegiatan asesmen, pengambilan keputusan, pusat PPKSK, pertukaran informasi, pelaksanaan evaluasi, dan komunikasi penanganan krisis. Ketika terjadi indikasi subrotokol, akan diadakan pertemuan untuk menetapkan status tekanan dan krisis, serta menetapkan respon kebijakan untuk penanganan.

Dalam UU PPKSK, BI berperan dalam kerangka manajemen krisis nasional sebagai KSSK dengan hakk suara, memantau koordinasi SSK, koordinasi dengan OJK untuk menetapkan bank sistemik, menangani masalah likuiditas dan pemberian likuiditas, mendanai kepada LPS dengan membeli SBN milik LPS dalam menangani bank bermasalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun