Mohon tunggu...
Andri Pratama Saputra
Andri Pratama Saputra Mohon Tunggu... Bankir - Seorang yang ingin selalu belajar dan saling berbagi pengetahuan

Seorang yang ingin selalu belajar dan saling berbagi pengetahuan #RI #BudayaReview

Selanjutnya

Tutup

Financial

Instrumen Makroprudensial Berbasis Permodalan

27 November 2022   10:42 Diperbarui: 27 November 2022   11:27 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.blog.modalku.co.id/

Pengalaman krisis 2008 telah menyebabkan kesadaran pentingnya kebijakan makroprudensial sebagai penahan risiko sistemik agar tidak terjadi kembali. Agung, dkk (2021) menyebutkan goncangan pada sistem keuangan dapat bersumber dari permodalan. Oleh sebab itu, diperlukan instrumen yang tepat dalam menjaga permodalan. Instrument makroprudensial berbasis permodalan yaitu Countercyclical Capital Buffer (CCB).

CCB adalah instrument makroprudensial yang bertujuan mengatasi perilaku prosiklikalitas perbankan yang berdimensi time series yaitu disesuaikan dengan perilaku ambil risiko yang prosiklikal serta mengatasi too big too fail yang dilakukan oleh BI dan berkoordinasi dengan OJK. Ketika ekonomi sedang ekspansi, perbankan meningkatkan kredit, sedangkan ketika kontraksi perbankan mengetatkan kredit. Pada ekspansi, ditandai dengan investor dan konsumen yang optimis, bunga rendah, harga aset dan nilai kolateral meningkat, ketika fase ini pengambilan risiko semakin massif sehingga penyaluran kredit semakin meningkat. Sedangkan fase kontraksi ditandai dengan bunga yang tinggi, investor dan konsumen yang pesimis, harga aset dan nilai kolateral turun dan kemampuan membayar utang menjadi disinsentif. Ketika terjadi pengambilan risiko secara berlebihan, maka akan terjadi perilaku prosiklikalitas yang berpotensi mengganggu kestabilan keuangan.

CCB berasal dari kewajiban Basel yang tak terlepas dari krisis 2008 untuk mengurangi prosiklikalitas dengan mengendalikan perilaku pengambilan risiko yang berlebihan. Kewajiban bank memelihara rasio buffer permodalan lebih tinggi dapat mencegah perilaku pengambilan risiko secara berlebihan. Ketika rasio tidak terpenuhi, regulator akan melarang bank tersebut untuk membagikan laba kepada shareholders. Ketika fase kontraksi, rasio akan dikurangi untuk mengurangi potensi kerugian. CCB memiliki beberapa indikator.

Indikator dalam CCB dibagi menjadi indikator utama dan penunjang yang indikator utama sebagai pedoman dalam menentukan besaran rasio CCB. Adapun indikator yang digunakan adalah indikator gap kredit terhadap PDB sebagai indikator utama. Agung, dkk (2021) mengemukakan ketika kredit berada di atas batas (H=6) maka kredit dikatakan berlebihan dan dikenakan rate maksimal sebesar 2,5%, jika kreditr di bawah batas (L-3) mengindikasikan penyaluran kredit berjalan normal.

Selain indikator utama, terdapat indikator pelengkap yaitu indikator makroekonomi seperti PDB, inflasi, nilai tukar, indikator perbankan, dan indikator harga aset. Terdapat beberapa indikator pelengkap menurut Agung, dkk (2021) sebagai berikut:

  • Data historis menunjukkan indeks risiko sistemik perbankan (IRS) meningkat satu tahun sebelum krisis dan mencapai puncak ketika krisis sehingga IRS bersifat near term untuk informasi pendukung.
  • PDB riil bersifat near term, karena meningkat sebelum krisis dan turun saat krisis, ini harus digunakan  bersama dengan indikator lain.
  • Inflasi meningkat sebelum krisis dan bisa menjadi info pendukung dalam CCB.
  • Nilai tukar melemah ketika krisis sehingga dapat menjadi indikator near term dalam CCB.
  • IHSG menurun/meningkat ketika ada event tertentu atau sentiment pasar sehingga dapat menjadi indikator near term dalam CCB dan diperlukan faktor lain.
  • Indeks Harga Properti Residential (IHPR) dapat mencerminkan perilaku agen terhadap persepsi risiko ke depan.
  • Kredit perbankan mengalami ekspansi sebelum krisis dan dapat menjadi indikator near term dalam menentukan CCB.
  • Dana pihak ketiga (DPK) menurun ketika sebelum krisis dan meningkat saat periode krisis dan menjadi indikator near term dalam menentukan CCB.

 

Penetapan Bank Sistemik di Indonesia

Terdapat beberapa landasan dalam menentukan bank sistemik adalah:

Pasal 39 UU OJK menyatakan bahwa OJK dan BI melakukan mutakhir data bank sistemik selama 1 kali dalam 6 bulan dengan menggunakan data posisi Desember tahun sebelumnya dengan data posisi Juni tahun berjalan. Dalam asesmen DSIB dari BCBS, Agung, dkk (2021) menyebutkan indikator utama yaitu ukuran (size), keterkaitan (interconnectedness), kemungkinan tergantikan(substitutability), dan kompleksitas (complexity). Selanjutnya, indikator yang digunakan dalam menghitung nilai bank sistemik adalah sebagai berikut:

  • Ukuran bank (size), yang diukur dari total eksposur yaitu jumlah dari neraca, rekening administrative, dan potensi future exposure dari transaksi derivative.
  • Kompleksitas kegiatan usaha, yang terdiri dari indikator nilai spot dan derivatid, surat berharga, indikator domestic, dan ketergantian peran bank.
  • Keterkaitan dengan sistem keuangan, dengan subindikator yaitu aset keuangan berwujud penempatan kepada lembaga jasa keuangan, kewajiban keuangan kepada lembaga jasa keuangan, dan surat berharga diterbitkan oleh bank.
  • Selanjutnya, bank sistemik dikelompokkan menjadi 5 bucket yaitu bucket 5 capital surcharge 3,5%, 4 dengan 2,5%, 3 dengan 2%, 2 dengan 1,5%, 1 dengan 1%.

 

Daftar Pustaka

 

 

Agung, Juda., Harun, Cicillia., Elis Deriantino. 2021. Kebijakan Makroprudensial di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun