Mohon tunggu...
Andre Zalukhu
Andre Zalukhu Mohon Tunggu... Penulis - Miracle 24

Penulis berprofesi sebagai Digital Marketer di salah satu perusahaan otomotif di Kota Medan. Hobi mendengar lagu-lagu indie folk dan senang berpetualang di alam absurditas kata.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Petani Milenial: Saya Kehabisan Lumpur di Sawah

22 Mei 2019   17:14 Diperbarui: 22 Mei 2019   17:38 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini menjadi tantangan pemerintah dalam mewujudkan 'Regenerasi Petani.' Berbagai program memang telah dan sedang berjalan untuk mengajak generasi muda menjadi petani dan SDM pertanian yang unggul. Yakni program aksi Regenerasi Petani/ SDM Pertanian dan program aksi Gerakan Pemberdayaan Petani Terpadu (GPPT) yang diselenggarakan Kementrian Pertanian lewat Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BPPSDMP) yang tujuannya menciptakan transfer visi kepada generasi muda dalam memberdayakan potensi agro kita, serta mengawal proses transisi ini.

Namun seberapa efektif kah program tersebut? 

Road map pengembangan SDA dan SDM telah tersedia, dana desa milyaran rupiah sudah dikucurkan, berbagai program dan aksi telah dan sedang berjalan, namun rasanya ada yang kurang. Dewasa ini, grafik masih stagnan, dan orang-orang muda masih enggan jadi petani.

Mindset. Ya, Menurut penulis inilah akar masalahnya.

Adalah sebuah kisah di film The Hunger Games karya adaptasi novel Suzanne Collins yang mengisahkan sebuah negara bernama Panem dengan ibu kota Capitol yang hidup dari 12 distrik yang memompa pasokan makanan ke sana setiap harinya. Apa yang terlintas dari kisah tersebut adalah, bahwa kita mulai menjadi seperti generasi Panem di masa itu. Yang mana ke-12 distrik adalah jajahan, tidak terpandang, tidak populer, dianggap kelas bawah, pekerjaan kasar, sedang yang berada di Capitol adalah tuan, komunitas penguasa, pemilik modal, orang-orang dengan setelan mahal dan koleksi barang-barang mewah. Paradigma ini dapat kita sinonimkan dengan kota dan desa.

Pada pedesaan, asosiasinya adalah ketertinggalan yang memasok segala sesuatunya ke kota. Sedangkan orang ke kota biasanya menggangap dirinya lebih unggul dari desa dan berkunjung ke desa sekedar memamerkan diri atau membawa pengaruh sosial politis. 

Sederhananya saja, banyak sarjana muda yang tidak mau kembali ke desanya meski berasal dari rahim pedesaan dengan alasan klasik: Ingin memperbaiki taraf hidup. Seolah di desa tidak ada 'tambang emas', tidak ada tempat untuk meningkatkan value dirinya. Padahal, haketkanya desa adalah lumbung padinya Indonesia. Jauh di belahan bumi lain, mereka harus mengimpor bahan pangan dan bersusah payah menggemburkan tanah. Di bumi pertiwi, segalanya mudah. Lempar saja tongkat dan akan jadi tanaman, kata Koes Plus dalam lirik lagunya. Apakah generasi muda tidak melihat potensi pertanian itu? Tentu 'kami' melihatnya.

Hanya saja kembali, ini soal kesan. Bukan kesan kesejahteraan saja, melainkan kesan aktualisasi diri yang tercakup dalam egosentris generasi ini. Generasi yang perspektifnya berdasarkan populisme. 

Jika kesan tidak berubah, regenerasi mungkin berjalan, baik lambat maupun cepat, selalu ada yang akan menjadi petani. Tapi tingkat partisipasi, dorongan, dukungan, gairah itulah suatu kemewahan yang belum dan tidak akan didapatkan oleh petani selagi asosiasinya masih sama.

Untuk meningkatkan populisme pertanian, pemerintah setidaknya perlu selera humor untuk mendorong generasi muda mengenal dunia pertanian. Tidak boleh ada asosiasi yang kaku. Apalagi citra seram institusi pendidikan pertanian yang beberapa kali menelan korban jiwa mahasiswanya sendiri karena perilaku arogansi senioritas. Pembaharuan citra harus dilakukan secepatnya. Dari kaku menjadi dinamis. Tingkatkan populisme dunia pertanian dengan berbagai program.  

Hal simpel seperti: Membuat kuis-kuis pertanian di media sosial,  tagline petani Ganteng/Cantik, festival film pertanian, reality show petani sukses, program petani pilihan masyarakat, konferensi petani muda, dan sebagainya bisa menjadi opsi mendekati millennial dengan sifatnya yang cair. Adapun implementasi program adalah jangka panjang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun